Sabtu, 26 Mei 2012
cerpen _ Pilihan Itu
“Pilihan itu!”
Langit senja ini tak begitu seperti biasanya. Mentari yang sedari tadi menghilang di balik ufuk barat hanya meninggalkan sedikit jejak warna merah bercampur jingga. Sedikit mendung membuat warna merah tadi tak tampak begitu jelas. Aku masih terduduk di padang bebas di belakang rumah. Di tanah lapang yang biasanya digunakan anak-anak tetangga untuk bermain bola di sana. Mereka bermain dan selalu bermain di sana tiap sorenya sampai senja datang disertai bunyi bedug dan suara azan dari mesjid di ujung gang. Baru saat itulah mereka menyudahi permainan dan pulang ke rumah masing-masing. Semoga saja memang benar pulang ke rumahnya sendiri-sendiri, tidak ke rumah orang lain, tidak nyasar mereka. Di tanah rerumputan ini aku sendiri telentang sambil menikmati suasana langit senja yang sedikit mendung. Hampir sama dengan mendung yang ada di hatiku.
Mendung ini tak seperti biasanya karena jika mendung datang pasti ada semilir angin yang bertiup sedang, dan lama kelamaan semakin kencang sehingga membuat orang-orang merasa ngeri dan takut untuk keluar rumah. Mungkin ini pengaruh dari alam yang sudah tak dapat diprediksi lagi bahkan oleh ahli nujum sekalipun. Alam semakin berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pagi menurunkan hujan dan siang bisa jadi menurunkan angin topan. Malam menampakkan panas menyengat sementara sore justru berhawa dingin tanpa ampun menusuk tulang dan persendian sehingga membuat rasa ngilu.
Sementara pandanganku masih tetap mengarah ke atas melampaui langit dari ujung utara sampai selatan. Lalu berputar lagi dari arah barat sampai timur. Tetap saja tak dapat menghilangkan rasa gundah yang menjadi setitik mendung di hati. Rasa mendung ini hadir kemarin sore saat seorang kolega menyerahkan sebuah amplop putih berisi surat yang akhirnya aku pajang di atas tempat tidurku, di dinding kamar yang catnya sudah mulai mengelupas. Surat itu kubaca berulang-ulang seakan membuatku semakin tak percaya saja. Semakin kubaca semakin keraguan dan kebimbangan menghampiri fikirku.
“Besok sabtu!” Gumamku.
Aku tak habis fikir mengapa aku juga diikutkan dalam event ini. Aku harus ikut dalam wawancara di perusahaan ini. Aku memang sering bahkan sudah terbiasa dengan wawancara. Bahkan dalam beberapa bulan terakir aku diminta untuk memberi kuliyah tentang pemasaran perusahaan dan persaingan dunia kerja yang diantaranya juga menyangkut wawancara kerja, di beberapa perguruan tinggi. Tapi ini lain. Masalahnya berbeda. Aku tidak datang untuk wawancara melainkan aku yang akan mewawancarai para pelamar kerja yang pastinya akan banyak yang berasal dari lulusan universitas. Dari universitas yang terkemuka sampai yang baru dibangun pamornya. Dari yang negeri sampai yang swasta.
Sebenarnya tak ada masalah karena itu memang tugasku sebagai seorang yang punya reputasi dan possisi terpandang di perusahaan ini. Tapi sekali lagi ini bukan menyangkut keprofesionalitasan ataupun kompetensi yang aku miliki, tapi ini ada kaitannya dngan perasaan. Bayangkan saja aku harus menilai sekian banyak orang dan satu diantaranya akan membawaku ke dalam de javu masa lalu yang sudah kukubur begitu dalam sehingga kalau aku gali akan membutuhkan waktu berbulan-bulan baru bisa menemukannya. Tapi itu kalau aku yang menggali dan aku berniat tak akan menggalinya, sementara sekarang ada orang lain yang akan menggalinya, tepatnya tidak menggali karena dengan mudahnya ia tinggal memungut saja dari tempat yang begitu mudah dijangkaunya.
*****************************************************************************
Sabtu pagi, begitu cerah dengan mentari sudah bersinar sejak setengah jam yang lalu. Aku menyusuri jalanan ini yang cukup sepi. Padahal biasanya ramai dipenuhi oleh anak-anak sekolah dan para kuli kerja di pabrik rokok serta di kompleks perumahan yang sedang dibangun. Begitu mudahnya aku menginjak pedal dan memainkan setir. Teringat seperti saat masih kecil aku bermain mobil-mobilan. Pukul 07.30 aku memasuki kantor yang sudah dipenuhi oleh puluhan pelamar di lobi dan ruang tunggu. Penuh berjejalan para calon pengisi posisi-posisi penting dalam perusahaan. Ini karena perusahaan tempat aku menghabiskan masa-masa tuaku ini akan membuka cabang baru di luar kota. Ini yang membuat kami harus mencari banyak karyawan untuk perusahaan cabang itu.
“Pak Zul, ini daftar peserta yang lolos saringan pertama. Ada sekitar tujuh puluh lima pelamar.”
“Okey.”
Dan saat aku melihat nama-nama yang tertera dalam daftar orang-orang yang akan kuwawancarai terdapat satu nama yang tak akan pernah aku lupa. Sebuah nama yang dulu aku dan dia pernah sepakati bersama saat kita mempunyai mimpi yang sama untuk membangun suatu ikatan yang pasti. Namun ikatan yang baru terbagun itu akhirnya harus kuputuskan. Dan kami tak pernah bersatu lagi. Jurang pemisah yang begitu dalam dan tak bisa kami lewati. Kami menyerah. Lebih memilih pasrah terhadap keadaan.
“Munfaida Zulkarnaen” Gumamku.
Sebuah nama yang dulu aku dan dia sepakati untuk keturunan kita kelak bila yang terlahir adalah seorang perempuan. Namun Tuhan punya rencana lain yang terkadang tidak sesuai dengan harapan serta doa hamba-hambanya. Aku dan dia tak bisa bersatu dalam keridhaanNya. Kita memilih jalan yang lain. Saat itu tampak oleh kami berbagai alternatif-alternatif jalan yang bisa kami pilih yang merupakan jawaban dari doa-doa kami sepanjang petang sampai fajar menyingsing. Seandainya kami berani mengambil risiko karena pilihan bersatu, barangkali cerita yang terukir dalam buku dunianya dan duniaku tak akan seperti yang sekarang ini.
Ruangan berukuran 8x6 ini sudah menjadi bagian dari hidupku semenjak pilihan yang aku dan dia pilih mulai kami berlakukan. Konsekuensi itu secara nyata langsung kami aplikasikan dalam kehidupan kami masing-masing. Dia berada di jalannya dan aku berlari di jalanku sendiri. Seperti halnya cat dalam ruangan ini yang sudah diganti empat kali, dulu pernah putih, kelabu, kuning tua, dan sekarang kembali putih namun sudah agak keabu-abuan. Seperti itulah hatiku dalam kehidupanku setelah berpisah dengannya.
Sudah enam sembilan pelamar yang sudah kuwawancarai. Ini berarti tinggal enam orang tersisa dan aku ingin nama pelamar yang tadi sempat membuatku teringat
akan masa lalu, sengaja aku tempatkan di urutan paling akhir. Aku sengaja karena aku ingin de javu masa lalu yang begitu indah dulu dapat aku rasakan lagi. Aku ingin kembali mengurai kebersamaanku dengan ibunya, Fa’ida namanya. Nama yang sudah terukir dalam, di hatiku. Bahkan ini adalah nama yang sengaja aku pahatkan dengan tinta perak bersepuh emas di dalam hati dan fikirku.
Mungkin aku akan curang karena ada dua pilihan saja yang hadir dalam jawaban atas doaku. Apakah aku akan meluluskannya dan membuatnya menjadi bagian dari perusahaan ini. Ataukah pilihan kedua dengan menolaknya sehingga aku tak kan menemukan lagi kenangan-kenangan yang sempat membuatku terpuruk, jatuh dan tak mampu berbuat apapun kala itu. Bahkan keputusan ini sudah aku ambil sebelum aku melakukan wawancara padanya. Dan aku lebih memilihnya tidak masuk dalam perusahaan ini karena aku punya rencana yang menurutku akan bisa meraih impianku dan impian Fa’ida.
“Nama anda?”
“Munfa’ida Zulkarnaen”
“Nama ibu dan ayah anda?”
“Nur Munfa’ida, dan………, aku tak pernah tahu siapa nama ayahku karena dulu sebelum aku lahir di dunia ini ia sudah pergi meninggalkan ibuku yang berjuang dalam kesendiriannya. Kata ibu ayah pergi untuk menyelesaikan studinya di luar negeri demi mencapai gelar yang dulu dicita-citakannya. Dan semenjak saat itu ayah tak pernah kembali. Pun ibu sudah mencoba untuk menghubungi ayah lewat telepon, email, bahkan juga seluruh teman-teman ayah sudah dihubungi, namun tetap saja ayah tak terlacak dimana berada. Tapi ibu tetap yakin ayah akan datang kembali kepada kami sehingga ia tetap berjuang sendiri demi aku. Bahkan saat ada orang yang mau meminangnya dulu, ibu tetap menolaknya demi ayah yang sampai sekarang tak kunjung pulang…. “
“maaf, maafkan saya bapak, saya menjadi suka meracau kalau sedang terbawa perasaan dan emosi. Mungkin saya tak berbakat untuk bekerja dengan professional.
Barangkali perusahaan tak akan menerima pelamar seperti saya. Maafkan saya bapak. Saya mengundurkan diri saja. Permisi.”
******************************************************************************
Suatu kesalahan lagi yang aku lakukan, karena seharusnya aku hanya mencari tahu bagaimana keadaan psikologi setiap pelamar. Tapi, karena Tuhan menganugerahiku sebagai pendengar yang baik, bahkan lebih baik dari orang-orang yang hidup di negeri ini, sehingga aku terkadang tidak hanya sebatas ingin tahu psikologi seseorang, tapi juga ingin tahu masalah-masalah apa yang sedang mereka hadapi. Ini ada sedikit pengaruh karena aku juga seorang konselor. Sehingga terkadang batas-batas antara dunia yang berbeda itu seakan tak begiu nyata terlihat karena saling berhubungan satu sama lain. Salling mendukung. Saling melampaui.
Di akhir sesi ini aku kembali menjadi seorang konselor, bukan seharusnya menjadi seorang yang sedang mengetes psikologi pelamar kerja. Aku memang lebih suka untuk melakukan psikotes dengan cara lain. Kalau perusahaan sering menggunakan cara yang sudah biasa,psikotes dengan seluruh pelamar dikumpulkan jadi satu, justru aku melakukannya dengan versi yang berbeda, versiku sendiri. Aku ingin berkenalan satu per satu dan mengetahui karakter setiap pelamar di perusahaan ini.
Dan karena backgroundku juga seorang konselor, maka tak mengherankan jikalau akhirnya aku berubah menjadi konselor di sana. Mungkin ini karena pengaruh perasaan. Perasaan pernah bersalah kepada seorang perempuan yang baru saja aku wawancarai yang tidak lain adalah seorang anak kandungku sendiri. Ya, tepat saat kami menapaki usia ke tujuh bulan pernikahan, telah terjadi badai yang begitu hebatnya memporak-porandakan rumah tangga kami.
Harus ada keputusan yang aku ambil dan dampaknya sungguh dasyat. Aku harus memilih untuk meninggalkan Fa’ida, istriku tercinta disaat dia mengandung di usia yang ke tujuh bulan. Sungguh tragis, disaat usia itu adalah merupakan kebahagiaan bagi kami karena biasanya orang tua dari kami akan melakukan ritual adat
yakni tingkeban. Namun di luar dugaan justru ritual yang kami nantikan berubah menjadi malapetaka.
Ibu ku sakit, dan sakitnya ini tak lain adalah karena ulahku juga. Dulu beliau sempat menjodohkan aku dengan seorang gadis anak sahabatnya yang dulu selalu membantunya. Bahkan berkat sahabatnya itu juga, beliau mampu membangun usaha yang menjadi tumpuan kehidupan keluarga kami. Seorang ibu ternyata lebih tahu mengenai kebahagiaan anaknya sehingga saat aku matur kalau aku ingin menikahi Fa’ida, ibu langsung mengiyakan. Aku berfikir ini benar-benar restu yang tak ada rahasia lagi. Sementara di balik restu ibuku tersimpan rahasia-rahasia yang begitu hebatnya sehingga saat rahasia itu terbuka maka bencana akan melampaui semesta kehidupan kami.
Bencana itu! September, 1999. Seorang ibu paruh baya datang ke kediaman ibuku yang sendirian sebatang kara hanya ditemani seorang pembantu, mbok nah. Ibu paruh baya tadi ternyata hendak menagih janji ibu untuk menjodohkan anaknya denganku. Cukup cantik dan pintar pula anaknya. Bahkan setiap laki-laki pasti menginginkannya. Sudah banyak yang melamarnya dan semuanya selalu ditolaknya karena ia tahu bahwa anak sahabatnya lah yang paling berhak untuk meminang anaknya. Maka saat itu juga malamnya ibu menelfonku. Dan dengan berat hati harus jujur mengatakan apa yang ada dibalik rahasia kehidupan seseorang. Terkadang suatu rahasia akan menjadi penglipur lara tapi suatu saat juga bisa menjadi malapetaka. Seperti yang terjadi malam ini. Datang bertubi-tubi kepada kehidupanku dan Fa’ida.
Maka aku harus memilih, sementara Fa’ida tak lain pasti selalu sendiko dawuh kepadaku. Ia akan selalu merestui apapun yang aku pilih. Masalahnya sekarang lain. Pilihan ini terlalu sulit, bahkan Fa’ida dan anaknya yang akan menjadi korban. Aku bisa saja poligami. Tapi sahabat ibu tak mau. Ia hanya ingin aku menikahi anaknya dan membangun keluarga yang hanya aku dan anaknya saja, tanpa ada wanita lain. Lalu bagaimana dengan Fa’ida.?
Dan inilah pilihan yang akirnya aku ambil. Fa’ida kutinggalkan. Ibu menginginkna Fa’ida tiggal bersamanya, namun ia lebih memilih sendiri. Karena kebersaamaan dengan
seorang mertua akan menambah goresan luka semakin dalam. Maka keputusannya ia tetap sendiri membesarkan buah hati yang masih dalam kandungannya.
******************************************************************************
Dua puluh satu tahun berlalu dan semenjak pilihan itu kuambil maka aku tak pernah bertemu lagi dengan Fa’ida. Bahkan sudah tak pernah berhubungan lagi dengannya. Sungguh suatu kesalahan besar. Aku baru tahu kabar tentangnya saat aku membaca CV para pelamar perusahaan ini. Dan kini aku tahu dimana ia tinggal dan aku berharap akan bisa menemukannya, kembali kepadanya lagi karena sekarang aku juga sendiri. Tak akan ada lagi sekat pembatas antara aku dan dia. Dan saat dalam wawancara tadi aku benar-benar ingin memeluknya. Anakku. Anak kandungku yang tak pernah aku mengurusinya dari ia di kandungan ibunya sampai sedewasa ini.
Sore itu kuberikan semua data-data pelamar yang masuk dan yang ditolak. Data Munfa’ida, belum aku kasih keputusan entah masuk atau tidak sehingga kolegaku heran dan menanyakan tentang pelamar yang ini. Aku bilang yang ini lain. Nanti aku kasih kabar secepatnya.
Pukul 5 sore aku pacu mobilku dengan kencang untuk menemui Fida dan ibunya. Sudah kugenggam erat kertas yang bertuliskan alamatnya. Degup jantung serta bahagia merasuki seluruh tubuhku. Namun rasa bersalah justru lebih berat untuk kupikul sendiri. Entah nanti Fa’ida masih mau menerimaku atau justru dia akan mengusirku dari rumahnya. Semua anggapan negatif harus aku tepis. Ini demi kebaikan dan aku harus terus maju. Rasa malu, bersalah dan mengewakan harus aku buang jauh-jauh dari perasaanku.
******************************************************************************
Nopember 1999
“Dek, mas bingung dan tak bisa menentukan pilihan. Kenapa Tuhan memberikan cobaan yang berat seperti ini.”
“Mas, jangan bimbang. Mari kita bersabar dan mas harus yakin dengan pilihan mas. Apapun yang akan menjadi pilihan mas aku menurut.”
“Tapi ini berat dek, kalau aku memilih ibu, aku akan meninggalkanmu. Sementara kalau aku tak memilihnya, aku akan menjadi anak paling durhaka.”
“Mas, yakin dan berserahlah kepada Tuhan. Apapun yang terjadi nanti biarlah Ia yang menentukan. Sekarang mas tentukanlah pilihan.”
“Menurut adek, mas harus bagaimana”
“Harus tetap memilih salah satu dan aku tak bisa membantu memilih karena hanya mas yang harus memilih.”
“Tapi resikonya akan berimbas kepada kamu juga dek.”
“Mas, insyaAllah yang terjadi adalah yang terbaik yang sudah digariskanNya.”
“Dek, mungkin mas memang harus kembali kepada ibu mas. Tapi mas mohon nanti kamu tinggaldengan ibu setelah mas menunaikan janji ibu. Maafkan mas, dek….”
“Mas, insyaAllah aku di sini akan baik-baik saja. Pergilah mas, Aku meridhai jalan ini. Ini adalah kuasaNya dan pasti akan ada yang terbaik terjadi di akhir cerita.
Aku teringat akan hari itu yang menghantuiku. Menunjukkan betapa aku telah melakukan kesalahan yang begitu besar. dosa yang sangat tak termaafkan. Bahkan syetan mungkin tak mengakuiku sebagai temannya karena kesalahan yang begitu dahsyat. Aku kembali bimbang di mobil ini. Tepat di depan rumah Fa’ida. Aku tak berani turun dari mobilku. Aku tetap diam. Diam dan diam.
Sampai maghrib menjelang aku masih terdiam di mobil ini dan tak berani turun. Aku takut untuk ketemu Fa’ida, apalagi ketemu dengan anakku. Aku tak kuat menanggung rasa malu yang begitu besar. Apa kata dunia ketika ada seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab? Apa kata tetangganya nanti? Apa kata Fa’ida nanti? Apa kata anakku nanti? Barangkali cemoohanlah yang akan mereka sampaikan kepadaku. Dunia akan mengutukku jikalau aku sampai berani menemui Fa’ida dan anaknya. Seolah
kabut senja telah mengaburkan fikirku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Maka aku hanya diam dan akirnya aku kembali menjalankan mobilku. Aku pulang. Aku memilih pulang dan tak menemui Fa’ida. Aku takut. Aku malu. Aku…. Aku…. Adalah seorang yang tak berperasaan. Aku harus memilih dan pilihan ini yang aku piklih. Aku seorang pengecut. Tuhan maafkan aku atas pilihan ini.
“Fa’ida, aku belum siap untuk menemuimu dan anakmu serta anakku. Maafkan aku.”
Dan pilihan itu, yang aku pilih ketika ada kesempatan bersatu dengan Fa’ida masih tetap menghantuiku karena sampai sekarang aku tak berani menemui Fa’ida. Sehingga suatu saat aku mendengar kabar anaknya menikah tanpa wali dariku, tapi dari sini aku selalu memberikan restuku untuknya. Semoga kamu bahagia nak. Dan semoga ini pilihan yang terbaik. Aku dalam kehidupanku. Ibumu dalam kehidupannya. Dan kamu juga telah menemukan kehidupanmu.
Di bawah gelapnya mendung siang hari berselendang udara tanpa terik. Semarang 16 Mei 2011
(2.24 p.m.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar