Sabtu, 26 Mei 2012

cerpen _ Pilihan Itu

“Pilihan itu!” Langit senja ini tak begitu seperti biasanya. Mentari yang sedari tadi menghilang di balik ufuk barat hanya meninggalkan sedikit jejak warna merah bercampur jingga. Sedikit mendung membuat warna merah tadi tak tampak begitu jelas. Aku masih terduduk di padang bebas di belakang rumah. Di tanah lapang yang biasanya digunakan anak-anak tetangga untuk bermain bola di sana. Mereka bermain dan selalu bermain di sana tiap sorenya sampai senja datang disertai bunyi bedug dan suara azan dari mesjid di ujung gang. Baru saat itulah mereka menyudahi permainan dan pulang ke rumah masing-masing. Semoga saja memang benar pulang ke rumahnya sendiri-sendiri, tidak ke rumah orang lain, tidak nyasar mereka. Di tanah rerumputan ini aku sendiri telentang sambil menikmati suasana langit senja yang sedikit mendung. Hampir sama dengan mendung yang ada di hatiku. Mendung ini tak seperti biasanya karena jika mendung datang pasti ada semilir angin yang bertiup sedang, dan lama kelamaan semakin kencang sehingga membuat orang-orang merasa ngeri dan takut untuk keluar rumah. Mungkin ini pengaruh dari alam yang sudah tak dapat diprediksi lagi bahkan oleh ahli nujum sekalipun. Alam semakin berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pagi menurunkan hujan dan siang bisa jadi menurunkan angin topan. Malam menampakkan panas menyengat sementara sore justru berhawa dingin tanpa ampun menusuk tulang dan persendian sehingga membuat rasa ngilu. Sementara pandanganku masih tetap mengarah ke atas melampaui langit dari ujung utara sampai selatan. Lalu berputar lagi dari arah barat sampai timur. Tetap saja tak dapat menghilangkan rasa gundah yang menjadi setitik mendung di hati. Rasa mendung ini hadir kemarin sore saat seorang kolega menyerahkan sebuah amplop putih berisi surat yang akhirnya aku pajang di atas tempat tidurku, di dinding kamar yang catnya sudah mulai mengelupas. Surat itu kubaca berulang-ulang seakan membuatku semakin tak percaya saja. Semakin kubaca semakin keraguan dan kebimbangan menghampiri fikirku. “Besok sabtu!” Gumamku. Aku tak habis fikir mengapa aku juga diikutkan dalam event ini. Aku harus ikut dalam wawancara di perusahaan ini. Aku memang sering bahkan sudah terbiasa dengan wawancara. Bahkan dalam beberapa bulan terakir aku diminta untuk memberi kuliyah tentang pemasaran perusahaan dan persaingan dunia kerja yang diantaranya juga menyangkut wawancara kerja, di beberapa perguruan tinggi. Tapi ini lain. Masalahnya berbeda. Aku tidak datang untuk wawancara melainkan aku yang akan mewawancarai para pelamar kerja yang pastinya akan banyak yang berasal dari lulusan universitas. Dari universitas yang terkemuka sampai yang baru dibangun pamornya. Dari yang negeri sampai yang swasta. Sebenarnya tak ada masalah karena itu memang tugasku sebagai seorang yang punya reputasi dan possisi terpandang di perusahaan ini. Tapi sekali lagi ini bukan menyangkut keprofesionalitasan ataupun kompetensi yang aku miliki, tapi ini ada kaitannya dngan perasaan. Bayangkan saja aku harus menilai sekian banyak orang dan satu diantaranya akan membawaku ke dalam de javu masa lalu yang sudah kukubur begitu dalam sehingga kalau aku gali akan membutuhkan waktu berbulan-bulan baru bisa menemukannya. Tapi itu kalau aku yang menggali dan aku berniat tak akan menggalinya, sementara sekarang ada orang lain yang akan menggalinya, tepatnya tidak menggali karena dengan mudahnya ia tinggal memungut saja dari tempat yang begitu mudah dijangkaunya. ***************************************************************************** Sabtu pagi, begitu cerah dengan mentari sudah bersinar sejak setengah jam yang lalu. Aku menyusuri jalanan ini yang cukup sepi. Padahal biasanya ramai dipenuhi oleh anak-anak sekolah dan para kuli kerja di pabrik rokok serta di kompleks perumahan yang sedang dibangun. Begitu mudahnya aku menginjak pedal dan memainkan setir. Teringat seperti saat masih kecil aku bermain mobil-mobilan. Pukul 07.30 aku memasuki kantor yang sudah dipenuhi oleh puluhan pelamar di lobi dan ruang tunggu. Penuh berjejalan para calon pengisi posisi-posisi penting dalam perusahaan. Ini karena perusahaan tempat aku menghabiskan masa-masa tuaku ini akan membuka cabang baru di luar kota. Ini yang membuat kami harus mencari banyak karyawan untuk perusahaan cabang itu. “Pak Zul, ini daftar peserta yang lolos saringan pertama. Ada sekitar tujuh puluh lima pelamar.” “Okey.” Dan saat aku melihat nama-nama yang tertera dalam daftar orang-orang yang akan kuwawancarai terdapat satu nama yang tak akan pernah aku lupa. Sebuah nama yang dulu aku dan dia pernah sepakati bersama saat kita mempunyai mimpi yang sama untuk membangun suatu ikatan yang pasti. Namun ikatan yang baru terbagun itu akhirnya harus kuputuskan. Dan kami tak pernah bersatu lagi. Jurang pemisah yang begitu dalam dan tak bisa kami lewati. Kami menyerah. Lebih memilih pasrah terhadap keadaan. “Munfaida Zulkarnaen” Gumamku. Sebuah nama yang dulu aku dan dia sepakati untuk keturunan kita kelak bila yang terlahir adalah seorang perempuan. Namun Tuhan punya rencana lain yang terkadang tidak sesuai dengan harapan serta doa hamba-hambanya. Aku dan dia tak bisa bersatu dalam keridhaanNya. Kita memilih jalan yang lain. Saat itu tampak oleh kami berbagai alternatif-alternatif jalan yang bisa kami pilih yang merupakan jawaban dari doa-doa kami sepanjang petang sampai fajar menyingsing. Seandainya kami berani mengambil risiko karena pilihan bersatu, barangkali cerita yang terukir dalam buku dunianya dan duniaku tak akan seperti yang sekarang ini. Ruangan berukuran 8x6 ini sudah menjadi bagian dari hidupku semenjak pilihan yang aku dan dia pilih mulai kami berlakukan. Konsekuensi itu secara nyata langsung kami aplikasikan dalam kehidupan kami masing-masing. Dia berada di jalannya dan aku berlari di jalanku sendiri. Seperti halnya cat dalam ruangan ini yang sudah diganti empat kali, dulu pernah putih, kelabu, kuning tua, dan sekarang kembali putih namun sudah agak keabu-abuan. Seperti itulah hatiku dalam kehidupanku setelah berpisah dengannya. Sudah enam sembilan pelamar yang sudah kuwawancarai. Ini berarti tinggal enam orang tersisa dan aku ingin nama pelamar yang tadi sempat membuatku teringat akan masa lalu, sengaja aku tempatkan di urutan paling akhir. Aku sengaja karena aku ingin de javu masa lalu yang begitu indah dulu dapat aku rasakan lagi. Aku ingin kembali mengurai kebersamaanku dengan ibunya, Fa’ida namanya. Nama yang sudah terukir dalam, di hatiku. Bahkan ini adalah nama yang sengaja aku pahatkan dengan tinta perak bersepuh emas di dalam hati dan fikirku. Mungkin aku akan curang karena ada dua pilihan saja yang hadir dalam jawaban atas doaku. Apakah aku akan meluluskannya dan membuatnya menjadi bagian dari perusahaan ini. Ataukah pilihan kedua dengan menolaknya sehingga aku tak kan menemukan lagi kenangan-kenangan yang sempat membuatku terpuruk, jatuh dan tak mampu berbuat apapun kala itu. Bahkan keputusan ini sudah aku ambil sebelum aku melakukan wawancara padanya. Dan aku lebih memilihnya tidak masuk dalam perusahaan ini karena aku punya rencana yang menurutku akan bisa meraih impianku dan impian Fa’ida. “Nama anda?” “Munfa’ida Zulkarnaen” “Nama ibu dan ayah anda?” “Nur Munfa’ida, dan………, aku tak pernah tahu siapa nama ayahku karena dulu sebelum aku lahir di dunia ini ia sudah pergi meninggalkan ibuku yang berjuang dalam kesendiriannya. Kata ibu ayah pergi untuk menyelesaikan studinya di luar negeri demi mencapai gelar yang dulu dicita-citakannya. Dan semenjak saat itu ayah tak pernah kembali. Pun ibu sudah mencoba untuk menghubungi ayah lewat telepon, email, bahkan juga seluruh teman-teman ayah sudah dihubungi, namun tetap saja ayah tak terlacak dimana berada. Tapi ibu tetap yakin ayah akan datang kembali kepada kami sehingga ia tetap berjuang sendiri demi aku. Bahkan saat ada orang yang mau meminangnya dulu, ibu tetap menolaknya demi ayah yang sampai sekarang tak kunjung pulang…. “ “maaf, maafkan saya bapak, saya menjadi suka meracau kalau sedang terbawa perasaan dan emosi. Mungkin saya tak berbakat untuk bekerja dengan professional. Barangkali perusahaan tak akan menerima pelamar seperti saya. Maafkan saya bapak. Saya mengundurkan diri saja. Permisi.” ****************************************************************************** Suatu kesalahan lagi yang aku lakukan, karena seharusnya aku hanya mencari tahu bagaimana keadaan psikologi setiap pelamar. Tapi, karena Tuhan menganugerahiku sebagai pendengar yang baik, bahkan lebih baik dari orang-orang yang hidup di negeri ini, sehingga aku terkadang tidak hanya sebatas ingin tahu psikologi seseorang, tapi juga ingin tahu masalah-masalah apa yang sedang mereka hadapi. Ini ada sedikit pengaruh karena aku juga seorang konselor. Sehingga terkadang batas-batas antara dunia yang berbeda itu seakan tak begiu nyata terlihat karena saling berhubungan satu sama lain. Salling mendukung. Saling melampaui. Di akhir sesi ini aku kembali menjadi seorang konselor, bukan seharusnya menjadi seorang yang sedang mengetes psikologi pelamar kerja. Aku memang lebih suka untuk melakukan psikotes dengan cara lain. Kalau perusahaan sering menggunakan cara yang sudah biasa,psikotes dengan seluruh pelamar dikumpulkan jadi satu, justru aku melakukannya dengan versi yang berbeda, versiku sendiri. Aku ingin berkenalan satu per satu dan mengetahui karakter setiap pelamar di perusahaan ini. Dan karena backgroundku juga seorang konselor, maka tak mengherankan jikalau akhirnya aku berubah menjadi konselor di sana. Mungkin ini karena pengaruh perasaan. Perasaan pernah bersalah kepada seorang perempuan yang baru saja aku wawancarai yang tidak lain adalah seorang anak kandungku sendiri. Ya, tepat saat kami menapaki usia ke tujuh bulan pernikahan, telah terjadi badai yang begitu hebatnya memporak-porandakan rumah tangga kami. Harus ada keputusan yang aku ambil dan dampaknya sungguh dasyat. Aku harus memilih untuk meninggalkan Fa’ida, istriku tercinta disaat dia mengandung di usia yang ke tujuh bulan. Sungguh tragis, disaat usia itu adalah merupakan kebahagiaan bagi kami karena biasanya orang tua dari kami akan melakukan ritual adat yakni tingkeban. Namun di luar dugaan justru ritual yang kami nantikan berubah menjadi malapetaka. Ibu ku sakit, dan sakitnya ini tak lain adalah karena ulahku juga. Dulu beliau sempat menjodohkan aku dengan seorang gadis anak sahabatnya yang dulu selalu membantunya. Bahkan berkat sahabatnya itu juga, beliau mampu membangun usaha yang menjadi tumpuan kehidupan keluarga kami. Seorang ibu ternyata lebih tahu mengenai kebahagiaan anaknya sehingga saat aku matur kalau aku ingin menikahi Fa’ida, ibu langsung mengiyakan. Aku berfikir ini benar-benar restu yang tak ada rahasia lagi. Sementara di balik restu ibuku tersimpan rahasia-rahasia yang begitu hebatnya sehingga saat rahasia itu terbuka maka bencana akan melampaui semesta kehidupan kami. Bencana itu! September, 1999. Seorang ibu paruh baya datang ke kediaman ibuku yang sendirian sebatang kara hanya ditemani seorang pembantu, mbok nah. Ibu paruh baya tadi ternyata hendak menagih janji ibu untuk menjodohkan anaknya denganku. Cukup cantik dan pintar pula anaknya. Bahkan setiap laki-laki pasti menginginkannya. Sudah banyak yang melamarnya dan semuanya selalu ditolaknya karena ia tahu bahwa anak sahabatnya lah yang paling berhak untuk meminang anaknya. Maka saat itu juga malamnya ibu menelfonku. Dan dengan berat hati harus jujur mengatakan apa yang ada dibalik rahasia kehidupan seseorang. Terkadang suatu rahasia akan menjadi penglipur lara tapi suatu saat juga bisa menjadi malapetaka. Seperti yang terjadi malam ini. Datang bertubi-tubi kepada kehidupanku dan Fa’ida. Maka aku harus memilih, sementara Fa’ida tak lain pasti selalu sendiko dawuh kepadaku. Ia akan selalu merestui apapun yang aku pilih. Masalahnya sekarang lain. Pilihan ini terlalu sulit, bahkan Fa’ida dan anaknya yang akan menjadi korban. Aku bisa saja poligami. Tapi sahabat ibu tak mau. Ia hanya ingin aku menikahi anaknya dan membangun keluarga yang hanya aku dan anaknya saja, tanpa ada wanita lain. Lalu bagaimana dengan Fa’ida.? Dan inilah pilihan yang akirnya aku ambil. Fa’ida kutinggalkan. Ibu menginginkna Fa’ida tiggal bersamanya, namun ia lebih memilih sendiri. Karena kebersaamaan dengan seorang mertua akan menambah goresan luka semakin dalam. Maka keputusannya ia tetap sendiri membesarkan buah hati yang masih dalam kandungannya. ****************************************************************************** Dua puluh satu tahun berlalu dan semenjak pilihan itu kuambil maka aku tak pernah bertemu lagi dengan Fa’ida. Bahkan sudah tak pernah berhubungan lagi dengannya. Sungguh suatu kesalahan besar. Aku baru tahu kabar tentangnya saat aku membaca CV para pelamar perusahaan ini. Dan kini aku tahu dimana ia tinggal dan aku berharap akan bisa menemukannya, kembali kepadanya lagi karena sekarang aku juga sendiri. Tak akan ada lagi sekat pembatas antara aku dan dia. Dan saat dalam wawancara tadi aku benar-benar ingin memeluknya. Anakku. Anak kandungku yang tak pernah aku mengurusinya dari ia di kandungan ibunya sampai sedewasa ini. Sore itu kuberikan semua data-data pelamar yang masuk dan yang ditolak. Data Munfa’ida, belum aku kasih keputusan entah masuk atau tidak sehingga kolegaku heran dan menanyakan tentang pelamar yang ini. Aku bilang yang ini lain. Nanti aku kasih kabar secepatnya. Pukul 5 sore aku pacu mobilku dengan kencang untuk menemui Fida dan ibunya. Sudah kugenggam erat kertas yang bertuliskan alamatnya. Degup jantung serta bahagia merasuki seluruh tubuhku. Namun rasa bersalah justru lebih berat untuk kupikul sendiri. Entah nanti Fa’ida masih mau menerimaku atau justru dia akan mengusirku dari rumahnya. Semua anggapan negatif harus aku tepis. Ini demi kebaikan dan aku harus terus maju. Rasa malu, bersalah dan mengewakan harus aku buang jauh-jauh dari perasaanku. ****************************************************************************** Nopember 1999 “Dek, mas bingung dan tak bisa menentukan pilihan. Kenapa Tuhan memberikan cobaan yang berat seperti ini.” “Mas, jangan bimbang. Mari kita bersabar dan mas harus yakin dengan pilihan mas. Apapun yang akan menjadi pilihan mas aku menurut.” “Tapi ini berat dek, kalau aku memilih ibu, aku akan meninggalkanmu. Sementara kalau aku tak memilihnya, aku akan menjadi anak paling durhaka.” “Mas, yakin dan berserahlah kepada Tuhan. Apapun yang terjadi nanti biarlah Ia yang menentukan. Sekarang mas tentukanlah pilihan.” “Menurut adek, mas harus bagaimana” “Harus tetap memilih salah satu dan aku tak bisa membantu memilih karena hanya mas yang harus memilih.” “Tapi resikonya akan berimbas kepada kamu juga dek.” “Mas, insyaAllah yang terjadi adalah yang terbaik yang sudah digariskanNya.” “Dek, mungkin mas memang harus kembali kepada ibu mas. Tapi mas mohon nanti kamu tinggaldengan ibu setelah mas menunaikan janji ibu. Maafkan mas, dek….” “Mas, insyaAllah aku di sini akan baik-baik saja. Pergilah mas, Aku meridhai jalan ini. Ini adalah kuasaNya dan pasti akan ada yang terbaik terjadi di akhir cerita. Aku teringat akan hari itu yang menghantuiku. Menunjukkan betapa aku telah melakukan kesalahan yang begitu besar. dosa yang sangat tak termaafkan. Bahkan syetan mungkin tak mengakuiku sebagai temannya karena kesalahan yang begitu dahsyat. Aku kembali bimbang di mobil ini. Tepat di depan rumah Fa’ida. Aku tak berani turun dari mobilku. Aku tetap diam. Diam dan diam. Sampai maghrib menjelang aku masih terdiam di mobil ini dan tak berani turun. Aku takut untuk ketemu Fa’ida, apalagi ketemu dengan anakku. Aku tak kuat menanggung rasa malu yang begitu besar. Apa kata dunia ketika ada seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab? Apa kata tetangganya nanti? Apa kata Fa’ida nanti? Apa kata anakku nanti? Barangkali cemoohanlah yang akan mereka sampaikan kepadaku. Dunia akan mengutukku jikalau aku sampai berani menemui Fa’ida dan anaknya. Seolah kabut senja telah mengaburkan fikirku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Maka aku hanya diam dan akirnya aku kembali menjalankan mobilku. Aku pulang. Aku memilih pulang dan tak menemui Fa’ida. Aku takut. Aku malu. Aku…. Aku…. Adalah seorang yang tak berperasaan. Aku harus memilih dan pilihan ini yang aku piklih. Aku seorang pengecut. Tuhan maafkan aku atas pilihan ini. “Fa’ida, aku belum siap untuk menemuimu dan anakmu serta anakku. Maafkan aku.” Dan pilihan itu, yang aku pilih ketika ada kesempatan bersatu dengan Fa’ida masih tetap menghantuiku karena sampai sekarang aku tak berani menemui Fa’ida. Sehingga suatu saat aku mendengar kabar anaknya menikah tanpa wali dariku, tapi dari sini aku selalu memberikan restuku untuknya. Semoga kamu bahagia nak. Dan semoga ini pilihan yang terbaik. Aku dalam kehidupanku. Ibumu dalam kehidupannya. Dan kamu juga telah menemukan kehidupanmu. Di bawah gelapnya mendung siang hari berselendang udara tanpa terik. Semarang 16 Mei 2011 (2.24 p.m.)

go to public: cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

kkntanjungsaribaros@yahoo.co.idgo to public: cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

Jawaban Istiqarah Intan Pukul dua belas tengah malam lewat empat puluh menit belum bisa aku pejamkan mata ini, apalagi terbenam dalam mimpi-mimpi yang indah seperti yang setiap orang harapkan dalam istirahat-istirahat malam mereka, sehingga aku akan mampu untuk melupakan kenangan-kenangan itu. Kenangan masa lalu yang cukup membuatku senang tapi lebih membuatku marah dan larut dalam rasa sedih. kenangan ini pula yang akirnya membuatku harus hanyut dalam jebakan fikiran yang bahkan tak kuingin untuk megingatnya lagi. Malam ini kenangan-kenangan yang telah kukubur dalam di tempat yang sunyi itu perlahan hadir lagi setelah dia hadir lagi dalam sequen-sequen kehidupanku. Tadi sore ia menelfonku, hanya sekedar menanyakan kabar. Dia hadir di saat yang tidak tepat. Bukan salahnya pula kalau dia hadir sekarang, karena yang salah adalah sebenarnya aku mengapa aku terlahir sebagai seorang perempuan yang tak setegar laki-laki dan selalu merasa lemah. Aku terlalu menaruh harapan kepadanya sehingga ketika ia akhirnya menyambut harapanku, selayaknya gayung yang bersambut, bahagia yang kurasa saat itu. Namun bukankah kehidupan itu dipenuhi dengan bahagia dan duka. Maka suatu saat aku juga akan mengalami duka akibat sesuatu yang sudah kupilih ini. Dan karena aku lebih mengunggulkan perasaan ketimbang logika yang tak seperti dia, maka ketika aku merasa tersakiti, akan sulit untuk menyembuhkannya. Maka disaat ada ketakutan, kesedihan dan kegelisahan menyelimutiku, aku membutuhkan sekedar rasa aman yang bisa diberikan oleh orang-orang yang selalu mendukungku. Keluarga barangkali, atau juga para sahabat, teman maupun rekan kerja. Namun yang kuharapkan tidak selalu terjadi karena terkadang apa yang seseorang harapkan belum tentu Tuhan mengabulkan. Dan saat aku benar-benar sudah mulai jatuh dalam kegelisahan yang menjanjikan ketiadaakhiran ini, datang seseorang yang barang kali dia dikirim Tuhan kepadaku. Seorang laki-laki yang berusaha menghiburku. Mengangkat aku kembali dari keterpurukan dan kegelisahan ini. “Mas Duncan! Aku harap kau benar-benar tulus dalam segala sikapmu.” Fikirku dalam hati. Tapi ada yang membuatku tak nyaman sekalipun ia bisa mengembalikanku ke ruang-ruang yang aku harapkan. Namun ia punya maksud lain. Disisi lain ia juga mengharapkan sesuatu dariku. Inilah yang akirnya membuatku berada dalam ruang ketidaknyamanan lagi. Aku tahu ia tidak salah, hanya saja waktu yang tidak tepat yang mempertemukanku dengannya. Dua orang dalam waktu yang sama hadir dalam kehidupanku dan membawaku ke ruang kegelisahan. Seorang hadir sebagai sahabat yang dulu pernah membuat luka di hatinya dan juga hatiku. Ingin kembali menyambung simpul persahabatan yang sempat putus. Sementara yang satu hadir dengan beribu janji yang terimplikasi lewat perilakunya kepadaku untuk membuat seorang sahabat merasa bahagia dalam mengarungi hidup. Mungkin sebagai teman, tapi ia berharap lebih sepertinya. Dan inilah yang membuatku begitu gelisah. Kubuka chat di laptopku. Ada Mas Duncan disana mengirim pesan untukku. Duncan: “Assalamu alaikum.... Halo dik...” Intan: “w'alaikumsalam, halo juga mas.” Duncan: “apa kabar dik? lagi dimana ?” Intan: “kabar baik,, ini lagi di kamar kos. lha kamu bagaimana mas?” Duncan: “baik..... juga... begadang?” Intan: “hu'um banyak pikiran” Duncan: “sedang mikirin apa dik?” Yuan: “pokoknya banyak sampai tak bisa disebutin satu per satu lah. lha kamu kenapa belum tidur mas??” Duncan: “sedang membuat inspirasi.... heheheh, kalau lagi banyak pikiran jangan dipendam sendiri... dibagi-bagi ja.... biar bisa merasa plong ntar...” Intan: “hu'um mas, tapi belum saatnya... ini kenangan masa lalu muncul kembali kok.” Duncan: “ow..... Ada yang bilang kenangan masa lalu itu akan membuat seseorang akan lebih kuat dalam mengarungi kehidupan....” Intan: “iya mas, tapi menurutku kenangan masa laluku sudah berakibat terburuk bagiku sampai-sampai aku tak mau mengenangnya lagi.” Duncan: “jangan dikenang.... tapi dipelajari ja untuk bekal penguat saat jatuh di waktu yang kan datang, semoga tak kan pernah jatuh lagi....” Intan: “amiiiin.....” Duncan: “any way kenangan tentang cowok kah?” Intan: “hahaha...” Duncan: “kok cuma senyum.....” Intan: “hu'um yang dulu waktu di tempat mas tak ceritain itu lhoo….” Duncan: “terus sekarang keadaan dan kondisinya bagaimana...?” Intan: “aku kan sama dia sudah hampir satu tahun tak pernah komunikasi lha tadi sore tiba-tiba dia telepon aku,, dan barusan dia pulang dari sini. Tadi dia maen kesini mas. Aku memang seneng dia masih ingat aku tapi aku juga sebel banget mas…” Duncan: “kok malah sebel..... kan dia masih ingat kamu dan mungkin pengen hubungan ini tetap terjaga (silaturahimnya)” Intan: “ya aku tahu tapi kan jadi membuatku teringat masa lalu mas,,, aku memang masih berhubungan baik dengan keluarga dan teman-temannya tapi sengaja tak mau berhubungan dengannya Tadi, dia malah yang menghubungiku duluan.” duncan: “masa lalu yang diingat yang manis-manis ja.... yang pahit dilupain ja.. biar nggak jadi sebel..” Intan: “kok gitu? Nanti kalau aku ingat-ingat yg manis ntar malah bisa jadi gawat gmn??” Duncan: “nggak...., asal punya keyakinan nggak akan nyampai kesana.... (kembali ke hal2 yang bisa ngebuat gawat)” Intan: “Itu masalahnya mas.. aku saja tak yakin karena sebenarnya aku masih sayang dia hehehehe” Duncan: “rasa sayangnya diubah ja... dulu kan rasa sayang sebagai."......." sekarang rasa sayang tetep ada tapi sebagai teman...” Intan: “iya mas, tapi sulit karena dia tlah nyakitin aku kalau rasa sayang jadi musuh saja bagaimana??” Duncan: “wah.... jangan....., kita ubah cara pandangnya ja....” Intan: “maksudnya?” Duncan: “justru karena dia tlah nyakitin itu adalah sebagai pelajaran yang berharga yang bisa kita dapat. kalau kita tak pernah merasa disakitin kita akan tumbuh tanpa bisa merasakan rasa sakit sehingga kita akan sulit untuk ikut bisa merasakan rasa sakit orang lain..” Intan: “waaah… benar juga ya…. Okey, bisa dicoba tapi yang pasti sulit” Duncan: “hu um akan terasa sulit, tapi aku yakin pasti bisa untuk dicoba. I am sure you can do it. Hidup kedepan lebih baik untuk menambah teman, bukan berjalan untuk menamban permusuhan.... biar hidup jadi tenang... juga bahagia.” Intan: “okey2... bahas lain aja yuuukkkzz nggak pulang?” duncan: “setuju,,,, mungkin 2 tahun lagi dek mas baru pulang...” Ada sedikit ketakutan juga mengenai mas Duncan. Dia begitu baik, bahkan setiap perlakuannya kepadaku selalu merekah ketulusan darinya. Sebagai seorang sahabat yang selalu ingin membuat sahabatnya merasa bahagia. Mungkin Tuhan memang menganugerahkan kepadanya bakat untuk membuat orang-orang disekitarnya bahagia. Tapi aku tetap saja takut. Takut kalau suatu saat dia menginginkan sesuatu dariku. Karena kebaikan seorang laki-laki kepada perempuan biasanya mengandung suatu maksud tertentu. Tapi aku berharap dia tidak. Dia lain dari manusia normal lainnya. Aku berharap dia adalah malaikat yang selalu melakukan tugas dari Tuhan untuk kebaikan di bumi tanpa adanya hasrat dan nafsu bagi pribadi mereka. Sehingga barangkali mas Duncan benar-benar tulus dalam perhatiannya kepadaku. **************************************************************************** Taman kota, merupakan suatu tempat yang bisa menghadirkan rasa nyaman untuk orang-orang yang selalu sibuk dengan rutinitas ruangan. Melepas sejenak diri ke alam bebas adalah hal yang menarik. Inilah yang kulakukan setiap pagi untuk membuat diriku yakin mampu menghadapi kehidupanku. Selalu hadir mendampingiku mas Duncan di taman ini, sekalipun sebenarnya dia tak begitu berminat dengan taman dan segala keramaiannya karena ia lebih suka di tempat dimana ia bisa berteriak dengan bebas. Itulah makna kebebasan yang selalu dipegannya. Pantai. Pantai adalah tempatnya yang bisa membuatnya merasa bisa menyatu dengan alam. Begitu juga aku baru bisa merasakannya ketika kemarin ia membawaku kesana sekedar untuk melepas gundah gulana yang kurasa. Aku bisa menikmatinya dengan begitu bahagianya karena barangkali sudah lama aku tak merasakan situasi seperti ini. Mungkin di usiaku yang sudah hampir menginjak duapuluh empat ini baru sekali ini aku bisa merasakan kebebasan yang menghidupkan asaku serta mengembalikan semangat kehidupanku. “Dik, mas minta maaf, besok mas akan ke luar negeri. Mungkin dalam waktu yang cukup lama. Dua tahun.” “>>>>….>>>>>…..” Aku tak sanggup untuk menanggapi ucapan-ucapan mas Duncan yang mengalir deras bagaikan air terjun Niagara di negara yang akan ditujunya. Begitu ringannya ia mengucapkannya walaupun sebenarnya ia mungkin sudah latihan selama mungkin.karena aku tahu mas termasuk orang yang perasa. Perpisahan baginya adalah sesuatu hal yang sangat berat, apalagi dia juga yang mengakibatkan perpisahan ini terjadi. Tapi mas lebih bisa percaya diri. Ia mampu mengendalikan dirinya dengan pasti dan selalu yakin dengan apa yang menjadi prinsip serta keputusannya. Ia seorang yang berani menagambil suatu pilihan sekalipun pilihan-pilhan itu selalu berakibat menyusahkannya. Tapi ia sadar dengan hal itu dan justru memilihnya karena ia yakin bisa berteman dengan akubat—akibat dari pilihannya. Inilah yang selalu membuatku kembali tegar dengan pilihan yang aku pilih. Namun pilihan ini bukan aku yang memilih tapi mas Duncan. Ia yang memilih pergi. Ia yang memilih untuk meninggalkanku. “Hati, apakah kau benar-benar jatuh hati?” “Bukankah dulu kau bilang dia hadir disaat yang tak tepat, karena kau menganggap dia punya maksud lain. Tapi ternyata dia memang tulus. Sementara kamu justru yang mengharapkan lebih. Hati kamu terlalu naïf.” Bulir-bulir bening menetes setetes demi setetes membasahi kedua pipiku. Terus menetes hingga aku tak kuasa lagi menahannya. Aku masih belum yakin apakah ini benar-benar nyata. Aku menangis. menangis untuk kali keduanya dengan benar-benar menangis. ***************************************************************************** Malam semakin sunyi dengan angin bertiup semakin kencang dan rintik gerimis di atas dedaunan yang bergoyang semakin membuat suasana gelisah semakin menjadi-jadi. Gelisah diluar, alam yang sedang mengamuk dengan angin bertiup kencang, juga gelisah di dalam hati serta fikiranku. Aku gelisah akan fikirku ini. Dan kegelisahan ini semakin menjadi dengan kembalinya kak Dani. Ia kembali hadir di kehidupanku, ingin kembali kepadaku. Tuhan aku bingung sekarang. Kenapa orang yang kuharapkan pergi sementara kau mengirim seorang lagi yang pernah membuat luka di hatiku bahkan sampai sekarang belum juga kutemukan obat yang bisa menyembuhkannya dengan sempurna. Pukul dua lewat lima belas menit aku masih juga belum bisa memejamkan mata ini. Aku beranjak ke kamar mandi. Cukup lama disana menikmati tetesan-testesan air dari kran yang begitu terus mengalir selalu ke bawah dan tak pernah menetes ke atas. Air selalu menetes ke bawah. Selalu. Sementara hati selalu bergerak ke arah yang tak bisa diperkira. Selalu bisa berubah dengan begitu cepatnya. Kubasuh muka ini dengan air yang menetes tadi dan bisa kurasakan hawa sejuk yang bisa menenangkan. Bahkan hujan angin diluar tak bisa lagi membuat hatiku gelisah.. “Allahu Akbar” “Tuhan dalam sujudku ini aku ingin mengadu kepadamu. Aku tersadar tak ada seorangpun yang bsa membuang kegelisahan dari hatiku. Bahkan seorang yang telah Engkau kirimkan, dia memang mampu menghilangkan kegelisahan ini namun hanya sejenak. Aku baru tersadar Tuhan, maafkan aku.” Seminggu kemudian aku sudah harus berdiri dengan jalanku sendiri dan caraku sendiri. Ini adalah suatu pilihan dan akulah yang berhak serta harus melakukannya. Karena aku hidup di dunia ini juga merupakan suatu pilihan, maka aku sendiri yang harus menanggung atas apapun yang tlah kuputuskan dalam hidupku. Mas Duncan tlah pergi dan dalam kepergiannya ia lebih memilih untuk menghilang dari kehidupanku. Tak pernah lagi ia menghubungiku. Mungkin inilah yang dulu pernah ia katakan bahwa kekuatan terbesar dan yang paling kuat itu bukanlah darinya tapi sudah ada dengan sendirinya dalam diriku, hanya saja aku yang belum menyadarinya. Itu bukan karena aku seorang wanita, karena di berbagai banyak hal terkadang seorang wanita itu ternyata lebih kuat daripada laki-laki. ****************************************************************************** Mas Dani kembali bersamaku di malam ini. Ia begitu nyata tak hanya lewat telefon ynag berdering layaknya hanya suara yang kudengar seperti dua bulan lalu. Dia bahkan yang kini ada untukku sebagai bagian yang saling mengisi. Untuk kembali menjadikanku bagian darinya seperti yang dulu pernah sempat kita membuat janji. Sudah sebulan ini aku menjadi seorang yang paling bahagia dalam kehidupanku. Menjadi seorang istri bagi seorang suami yang baik. Inilah yang diajarkan kepadaku oleh kakekku saat aku masih berumur awal belasan dulu, bahwa nanti seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik dan begitulah juga seorang wanita yang baik akan mendapatkan laki-laki yang baik. Alam sudah dengan begitu baiknya mengatur pasangan-pasangan dalam ikatan rumah tangga. “Mas, tadi aku dapat surat dari USA.” “Dari mas Duncan dek?” “Iya, tapi bukan dia yang mengirim melainkan teman satu kantornya di sana.” “Semoga dia baik-baik saja dek di sana.” “Iya mas, dia baik sekali bahkan sekarang sedang berada di tempat yang paling baik ketimbang kita dan semua manusia di sini.” Perlahan butiran-butiran air mataku yang tak pernah menetes lagi semenjak kepergian mas Duncan kini kembali berjatuhan. Mas Duncan terima kasih atas semuanya dulu. Tuhan biarkanlah mas Duncan kembali kepadaMu. Terimalah semua kebaikannya. Aku yakin dia sekarang berada di tempat yang Engkau sediakan bagi hamba-hambaMu yang selalu menjaga kebaikan di bumiMu ini. Dan aku semakin yakin kalau inilah yang baru aku bisa menyadarinya bahwa kehidupan yang baik itu adalah jika dua orang bersatu dengan saling mengisi dan meridhai. Dan tak semua yang tampak baik olehku itu akan menjadi suatu yang baik. Dan Engkau sungguh Dzat yang membuat apapun slalu bisa terjadi. Aku baru menyadarinya andaikata aku dulu bersikeras untuk memilih menunggu mas Duncan, barangkali niatku untuk menyempurnakan agamaku tak kan pernah terlaksana sampai sekarang. Tuhan, terima kasih Kau tlah berikan Mas Dani kepadaku. “ …. Dek Intan, ini adalah surat yang kutulis saat aku berjuang dengan suatu nikmat yang besar dari Tuhanku. Saat dimana kanker dalam otakku sudah semakin menjadi-jadi. Aku semakin merasa dekat denganNya. Semoga kamu selalu dalam lindunganNya dan berbahagia di sana…………..” Sebuah penggalan surat mas Duncan yang dikirim seminggu yang lalu. Beralamat di New York atas nama Diego Morailes. Dalam keheningan dinihari di bawah sorot lampu putih yang begitu terangnya. 26 April 2011 at 02.55 WIB.