Senin, 06 Mei 2013

Sang Waktu Dan ibu bercerita pd pagi yg mengantar lahirku ke dunia Pagi yg hening tiba tiba ramai oleh tangisku Sembari terdengar senyum bhagia mereka akan hadirku Lalu kusapa dhuhaku saat aku mulai belajar merangkak Menyusuri rahmat cerah pagi yg penuh rizki Dalam pncarian itu kubertanya Tuhan, aku tlah menemumu dlm dhuha yg penuh berkah Sampai terik siang memanggang ikan ikan di batas tempayan Aku mulai berjalan Mulai berlari Mulai menapaki samudera baligh Yg mmbuatku tahu apa itu dosa dan pahala Lalu asharmu memanggil manggil lewat bedug masjid yg tlah usang Barang sebentar aku menoleh tiba tiba Sudah kutemu diriku dlm balutan senja Dikelilingi cucu cucu yg saling bekejaran Sungguh secepat ini kah sang waktu? Baru aku keluar dr rahim ibu di keheningan pagi tadi Dan kini kutemu cucu cucu sudah mengelilingi senjaku; Lalu kuadukan pd isya yg baru berlalu Tiba tiba Engkau peluk aku dlm penutupan witirku Ah waktu; begitu cepatny berlalu Tuhan; pd ridhoMu aku mengetuk malu
SEPATU PUTIH Sepatu warna putih ini sudah tak seperti warna aslinya lagi. Tepatnya cream, coklat, atau bahkan agak kekuningan adalah warna-warna yang menghiasi sepatu yang dimiliki gadis ini. Konon sepatu ini sudah turun temurun dari masa ibu dari ayahnya dan sekarang dia yang mewarisinya. Sekalipun sudah usang, namun sepertinya sepatu ini selalu menemukan keindahan dengan hiasan-hiasan perawatan Sang Ayah yang selalu memberi sentuhan artistik lukisan-lukisan dengan cat lukisnya. Ayahnya adalah seorang seniman lukis yang cukup terkenal di kotanya. Namun setelah meningggalnya sang istri, ia sudah tak mau melukis lagi. Terakir adalah saat ia sedang mengadakan pameran lukisan di Eropa. Saat itu ayahnya meninggalkan istrinya yang sedang hamil Sembilan bulan. Saat itu juga istrinya melahirkan seorang anak pertama. Seorang gadis cantik yang kini sudah berusia sembilan tahun yang dia beri nama Kinanti Rahayu Lailatul Fitria. Saat melahirkannya, ibunya meninggalkan mereka. Meninggalkan ayah dan dirinya dalam dunia fana ini. Sejak itulah angka Sembilan akirnya menjadi angka yang paling diingat oleh ayahnya. Sehingga di usianya yang ke sembilan ini ayahnya sengaja tidak merayakan sebuah pesta seperti tahun-tahun sebelumnya. Ayahnya hanya bilang pada suatu malam di hari jadinya ini. “Selamat ulang tahun ya Kinan. Ini sepatu milik ibumu dari Nenekmu. Ayah harap kamu bisa mewarisinya dari nenek dan ibumu.” ********************************** Tepat usianya kini menginjak dua puluh sembilan. Sepatu putih itu masih ia simpan dalam kotak merah. Sepatu itu yang kini masih disimpannya sebagai harta satu-satunya dari ayahnya. Ayahnya telah meninggal setahun yang lalu dan ia masih belum mampu mengabulkan permintaan ayahnya. Dulu ayahnya berharap ia menjadi ballerina seperti ibunya, juga neneknya. Namun ternyata semesta menakdirkan hal lain. Ia justru mengikuti jejak sang ayah, melukis. Kini ia sudah mempunyai galeri lukisan yang selalu dinanti karya-karyanya. Seperti sebuah pepatah “Buah jatuh tak akan pernah jauh dari pohonnya”. Dia akirnya membakati apa yang dimiliki sang ayah. Namun ketenaran yang diraihnya belum bisa menentramkannya. Ia masih berfikir kepada siapa kelak sepatu putih itu akan dia berikan. Karena sejauh ini ia belum menikah. Belum tentu pula ia akan memiliki seorang anak perempuan nanti. Bahkan ia baru ingat kalau ia tak akan punya anak karena rahimnya telah diangkat akibat sebuah kecelakaan enam bulan lalu. “Ah, aku lebih baik ke sekolah balerina saja.” Segera ia ambil kotak merah berisi sepatu putih itu. Ia memacu mobilnya menyusuri jalanan kota Paris. Saat ditengah perjalanan ia mulai berfikir lagi. Ia belokkan mobilnya ke bangunan yang sering dikunjunginya, sebuah café. Ia tak melanjutkan perjalanannya ke sekolah ballerina. Saat ia memarkir mobilnya, ia tak keluar juga sampai setengah jam berada dalam mobil sambil merenung. “Sepatu ini sudah usang. Kalaupun kuberikan kepada seorang gadis tentu ia tak kan mau menerimanya, apa lagi memakainya. Ah, aku pusing.” Ia keluar dari mobilnya, lalu masuk menyusuri halaman parkir yang cukup luas menuju cafe Bordeaux. Cafe ini yang selalu membuatnya menemukan inspirasi untuk karya-karya lukisannya selama ini. Namun sekrang cafe ini tak bisa memberi inspirasi untuk hatinya yang sedang kacau, risau. Tak terdefinisikan oleh imajinasinya. “Kring….” “Hello, this is Kinan. Whom am I speaking to?” “Hello. This is Andrea. I want to have a painting of a pair of shoes. And the title is the missing shoes. Can you help me to draw it? Please. This is my daughter’s request of her nine’s birthday.” “Yes. I’ll send it two more weeks. Ok.” “Ok. Thanks a lot. See ya.” Terlalu asik dan larut dalam imajinasinya, ia lupa kalau sedari tadi belum memesan apa-apa di sana. Ia keluarkan sebuah buku dari tasnya lalu memesan cappuccino panas. Lalu ia terlarut dalam dunia kata yang dipegangnya. Ya, itulah gaya seorang seniman selalu mempunyai dunia sendiri dalam imajinasi. Dan bisa membuat dunia penuh makna dalam balutan karya. Mulailah ia menulis lagi dalam buku diarinya. ************************* Dua minggu berlalu dan rapilah sudah sebuah mahakarya lukisan sepasang sepatu yang diberi judul olehnya The Missing Shoes. Ia sangat puas dengan lukisan yang satu ini. Ia tidak mengimajinasikan. Ia benar-benar membuat sebuah lukisan yang beraliran realism. Ia hanya melukis sebuah sepatu warisan dari ayahnya. Sepasang sepatu yang kemarin ia hiasi juga dengan kuas-kuas yang selalu dimainkannya dalam kanvas-kanvas kosong. “Paling tidak kalaupun aku tak mampu mengabulkan permintaan ayah, aku bisa membuat lukisan ini sebagai ganti sepatu putih ini yang akan kuberikan kepada seorang gadis sebagai hadiah ulang tahunnya.” Gumam Kinan. “Kring…” Bunyi sms dari hp Kinan. “Hello, Mrs. Kinan. I’ve transferred the money to your account. Now, I’m waiting for you in the Stone Rock. Hopefully you can pick the picture here. I am waiting for you with my beloved daughter.” “Yes, please await me for about ten minutes. Thanks.” Kinan membalas sms Mr. Andrea. Sebuah mobil silver meluncur di jalanan yang mulai turun salju. Winter telah mulai menyambut dataran Eropa, tak terkecuali ibu kota Paris. Kota ini sedang tertaburi butiran-butiran halus yang turun bak anugerah bunga-bunga putih berterbangan menghiasi seluruh kota. Kinan memacu mobilnya berharap bisa menemui client-nya di tempat yang sudah mereka buat janji. Sebuah taman. Ah, tepatnya sebuah pekuburan yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang sebentar lagi tertutup warna putih. Sperti warna sepatu putih Kinan. Sampai juga Kinan di pekuburan. Ia melihat seorang gadis yang digandeng ayahnya. Itulah client yang ditujunya. Seorang single parent dan seorang gadis cantik. Kinan mulai terbawa dalam suasana jatuhan es halus yang membawanya ke alam lain. Ia memandang termenung sebelum turun dari mobilnya. “Hi. I am Mr. Andrea, and this is my beloved daughter Keenan Andrea.” “Nice to meet you Andrea, and you too Keenan. I am Kinan.” “Is it a coincidence that my daughter’s name is same with you?” “Hi. Mrs. Kinan. Nice to meet you.” How are you?” “Great. How are you Keenan?” “I am fine Mrs. Kinan” “Umm, I don’t know. But sometimes I always believe it. Ah, who knows? It is only always depending on Him, right?” “Absolutely.” …………………….. Saturday, 12 – 6 – 2012 Pekuburan keluarga. Bandung “IBu, Nenek dan Kakek. Aku datang hari ini. Sekalipun aku belum pernah tahu wajah kalian. Aku hanya tahu dari cerita-cerita yang ayah ceritakan saat menjelang tidur malamku. Dan barangkali ayah juga sudah bercerita kepada kalian semenjak setahun lalu. Ia meninggalkanku di sini dan menyusul kalian di alam yang tenang sana. Maafkan aku bu, aku tak sempat mengecup punggung tanganmu dan aku juga tak sanggup memenuhi tradisi dan harapan ibu. Aku tak bisa menjaga sepatu itu. Aku tak mewarisi bakat ibu. Ada yang bilang kalau pengetahuan itu bisa dilatih, tapi ini lain bu. Seni itu tak bias kubakati. Sekeras apapun aku berlatih aku tak kan bisa mencapainya. Kalaupun aku bisa, barangkali dalamnya tak kan ada rasa. Padahal dalam pencapaian tertinggi sebuah seni itu adalah rasa.” “Kata ayah, Ibu juga selalu bilang begitu. Ayah selalu bercerita bu saat malam menjelang peraduanku pada mimpi. Ayah selalu bilang kalau semua itu berawal dari rasa sehingga manusia akan selalu dipenuhi dengan kebahagiaan. Kadang kala aku bertanya sendiri bahagia seperti apa yang dimaksud ayah. Sampai sejauh ini aku belum bisa memaknainya bu. Yang aku fahami hanyalah aku harus menyatu dengan seni yang aku geluti. Jadi hanya itu bu. Aku belum bias membawanya dalam kehidupanku. Aku masih lajang bu.” “Bu, hari ini aku ke sini menjengukmu. aku berterima kasih kepada ibu yang tlah melahirkanku ke dunia ini. Sebenarnya aku ingin bercerita panjang bu. Tapi sebelumnya aku minta maaf bu. Aku tak bisa menjadi Balerina seperti ibu atau pun nenek. Kata ayah ibu adalah seorang ballerina yang sangat dikagumi banyak orang. Tapi ternyata aku tak mewarisinya darimu bu. Barangkali ini mungkin karena kita tak sempat bertemu bu, sehingga yang melekat pada diriku adalah jiwa dari ayah. Aku menjadi pelukis bu.” “Tapi jangan kawatir bu, sepatu itu sudah ada yang mewarisinya. Tapi dia bukan darah dagingku bu. Maaf bu aku masih lajang dan kalau aku menikah pun aku tak kan bisa memberi seorang cucu untuk ibu. Aku mengalami kecelakaan dan rahimku tlah diangkat. Aku tak kan bisa punya anak, bu.” “Kemarin aku tlah memberikan sepatu itu pada seorang anak kecil yang sedang berulang tahun ke sembilan. Kebetulan ia sangat suka bu. Kata ayahnya ia sedang belajar ballerina juga. Barangkali dia yang akan mewarisi bakat ibu. Entahlah bu, tiba-tiba hatiku tergerak saat bertemu dengannya untuk memberikan sepatu itu. Apakah ini kebetulan bu? Ataukah ini kehidupan yang sudah digariskan?” “Ah, bu aku tak mau bercerita lagi, pasti ibu juga sudah tahu dari sana karena sejatinya sekalipun aku tak pernah mengenal dan melihatmu bu, tapi aku yakin kasihmu akan selalu melingkupiku. Seperti kasih Sang Pencipta yang selalu diberikan kepadaku. Bu, besok aku akan kembali lagi ke paris. Aku ke sini hanya ingin menyampaikan tenang sepatu itu saja. Besok aku kembali ke universitas bu. Aku ingin mengabdi di sana. Aku diminta menjadi tenaga pengajar di sana bu. Sorbone university.” ……………………. Paris, Desember 2012 Pukul dua siang menjelang tahun baru aku ada janji untuk menemani Keenan yang akan menggunakan sepatu putih itu untuk pertama kalinya dalam pertunjukannya. Malam tahun baru nanti akan ada pertunjukan ballerina klasik yang akan dibawakan olehnya. Ia berjanji akan memakai sepatu itu asalkan aku mau untuk menemaninya dan datang menyaksikannya. Masih seminggu lagi dan tiap sore aku sempatkan sepulang dari universitas ini untuk menengoknya latihan di sekolah balerina. Aku ingin melihat semangatnya yang tak pernah padam. Aku sadar bahwa sebenarnya semangatnya sangat menyala-nyala seperti yang selalu diberikan oleh ayahnya, namun sebenarnya ia membutuhkan sentuhan kasih seorang wanita. Ia membutuhkan perhatian seorang ibu dan barangkali aku cukup untuk menjadi pengobar semangatnya itu. “I am very happy if you always come here to see us. I hope you will be my mother some day.” “ What do you think dad?” “Umm, yah Mrs. Kinan will always come here.” “You will always be here, won’t you?” “Yes, off course dear, Keenan.” Sabtu sore selepas menengok Keenan di sekolah ballerina, ayahnya mengajak kami bertiga untuk makan dulu di sebuah restoran. Dan saat malam tiba ia mengantarkanku. Saat itu Keenan sudah terlelap. Sepertinya ia cukup lelah dengan latihannya hari ini. Karena porsi latihannya ditambah cukup banyak dan pasti sangat menguras tenaganya. Ah, Keenan, seorang gadis yang cantik yang bernasib sama denganku, harus ditinggal ibunya dari semenjak kecil. “Mrs. Kinan, tanks a lot for supporting my daughter.” “Oh yeah, no problem.” “Umm, she always tells everything about you whenever she met people, to her friends, me, and all her relatives. She wants you to be her mother. And….. in the fact you are very good person.” “I propose you, Mrs. Kinan. Would you marry me? And become her mom” Oh Tuhan aku tak mampu berkata-kata lagi. Apa yang harus kujawab? Ada satu hal yang masih mengganjal pada diriku. Engkau tlah menciptaku dengan tanpa bisa mempunyai anak. Kalau aku menikah untuk apa Tuhan? Apa ada seorang laki-laki yang akan menerimaku. Dia belum tahu Tuhan kalau aku tak bisa memberinya seorang anak. “Mr. Andrea. I can’t answer it now. Plese give more time.” Untunglah mobil sudah sampai di depan rumahku. Artinya aku bisa langsung turun dan masuk ke rumah tanpa harus bingung untuk memberi jawab apa kepada Ayah Keenan. Aku terselamatkan. Thanks a lot God. “See you.” “Bye” …………………………………………….. Hari yang dinanti Keenan tiba. Malam tahun baru dimana ia akan tampil pertama kalinya untuk tarian ballet menyambut tahun baru di sebuah aula kecil di pinggiran kota Paris. Kami bertiga berangkat bersama. Sejak sore Keenan sudah berada di rumahku. Ia hanya ingin bersamaku. Seperti anak-anak yang lain seusianya, dalam hal yang paling penting pada kehidupan, mereka pasti membutuhkan sosok seorang ibu untuk mengadu dan membesarkan hati mereka. Itulah anak-anak. Pukul delapan malam acara sudah dimulai dengan pembukaan sebuah pentas drama. Sehabis ini akan disusul tarian balet dari sekolah Keenan. Dibalik panggung aku bersama ayahnya menyemangati Keenan. Aku genggam erat tangannya. Aku berusaha menguatkannya. Sentuhan tangan lembutku sepertinya bisa menenangkannya. Seolah berkata, “Keenan, you are always alright. Do the best yah. I’m here with you.” Dan saat Keenan tampil di panggung, aku dan ayahnya kembali ke depan menyaksikan tarian Keenan dan teman-temannya yang sungguh menakjubkan. Seumur hidupku ini kali pertamanya aku menyaksikan tari balet dari jarak dekat. Sangat indah dan menawan. Aku berteriak “Keenan, you are great”. Tiba-tiba aku terbawa seperti ke alam lain. Panggung Keenan menari berubah menjadi padang salju. Ah, aku mulai berhalusinasi. Di padang itu aku sendirian duduk di sebuah bangku taman yang berhias taburan salju. Di depan hanya kusaksikan Keenan menari. Namun tiba-tiba ada sesosok perempuan lain. Aku seperti tak asing dengan sosok itu. Wajahnya seperti mirip denganku. Aku mulai berfikir apakah ia ibuku? Aku masih belum yakin karena ibuku telah meninggalkan dunia ini selepas kelahiranku. Aku belum pernah melihatnya. Aku hanya melihatnya lewat sebuah foto yang selalu diletakkan di dompet ayah. Aku berlari dan berteriak ingin memeluk sosok tadi. “Ibu……..!” Tiba-tiba semua menjadi gelap. Dan saat aku membuka kedua mataku, aku sudah menemukan diriku terbaring lemah di rumah sakit. Di sampingku ada Keenan yang sedari tadi menangis ditemani Andrea. “Kinan, are you ok?” “Yes.” “Andrea, I met my mom. She danced with your daughter and I want to embrace her.” Aku mengadu pada Andrea sambil sesenggukan menangis. Ia memegang erat tanganku seperti saat aku memegang erat tangan putrinya. Seperti mengalirkan kekuatan bagiku untuk segera membaik dan tegar lagi. “Oh, Tuhan, aku harus bagaimana? Apa yang terjadi denganku?” …………………….. Bandung, 11 Januari 2012 Seminggu setelah aku pingsan di perayaan tahun baru, aku meminta Andrea untuk menemaniku ke Indonesia. Kita ajak juga Keenan yang kini selalu bersamaku seperti seorang anak dengan ibunya. Kami bertiga ke Indonesia untuk mengunjungi makam ibuku. Di depan pusara ibu, aku bertanya pada Andrea apakah ia akan mengajukan pertanyaan seperti saat mengantarku pulang dulu. Ia langsung menjawab ya. Demi anaknya yang selalu membutuhkan seorang ibu, dia ingin aku menikah dengannya dan membesarkan Keenan bersama. Aku bilang kepadanya kalau aku tak bisa memberinya keturunan, namun ia tetap hanya ingin menikahiku dan membangun sebuah keluarga bersama putri kecilnya. Ia benar-benar mencintaiku. Aku mengiyakan dan kami bertiga menghadap pusara ibuku untuk meminta restu. “Bu, ini mungkin kali terakir aku mendatangi pusara ibu. Aku tahu ibu kemarin mendatangiku saat perayaan tahun baru di Paris. Aku yakin itu adalah restu dari ibu supaya aku segera menikah. Di sisi lain mungkin ini juga pertanda tradisi keluarga kita sebagai penari balet tak akan pernah berhenti. Aku telah menemukannya bu. Aku telah menemukan pewaris sepatu putih itu. Keenan, bu. Dia seorang gadis kecil yang kebetulan bernama sepertiku. Aku telah memberikan sepatu itu kepadanya. Ibu bisa melihat sendiri kan saat dia menari di panggung itu. Dia begitu cantik dan menawan. Ya bu, dia lah pewaris sepatu itu. Meskipun dia bukan darah dagingku, tapi inilah takdir yang mempertemukanku dengannya. Yang akan selalu menjaga sepatu putih itu. Aku juga baru sadar inilah yang ayah maksud dulu bahwa sepatu putih itu punya filosofi tersendiri. Penuh dengan warna kehidupan. Sepatu putih, bukan berarti warnanya seputih salju. Tapi ia dikelilingi banyak warna karena di dalamnya saja terpendar warna pelangi.” Di bawah cerah langit Kota Bontang berhias awan-awan putih berarak 1 April 2013 at 02.45 P.M. Ah, apa makna hidup Saat engkau membuka kedua mata di pagi buta Lalu kau temukan senyum merekah menghiasi wajahmu Wajah ibumu, wajah ayahmu,wajah istrimu, wajah anakmu Dan wajah-wajah mereka Dan kau kan terus mencari makna ini Sampai semua tersenyum oleh hadirmu Tidak kah kau tahu? Bahwa semestamu adalah titipan, Titipan dari NYA Yang harus slalu kau jaga Dalam balutan senyum penuh kesyukuran Ah, hidup. Betapa indahnya dirimu

Sabtu, 26 Mei 2012

cerpen _ Pilihan Itu

“Pilihan itu!” Langit senja ini tak begitu seperti biasanya. Mentari yang sedari tadi menghilang di balik ufuk barat hanya meninggalkan sedikit jejak warna merah bercampur jingga. Sedikit mendung membuat warna merah tadi tak tampak begitu jelas. Aku masih terduduk di padang bebas di belakang rumah. Di tanah lapang yang biasanya digunakan anak-anak tetangga untuk bermain bola di sana. Mereka bermain dan selalu bermain di sana tiap sorenya sampai senja datang disertai bunyi bedug dan suara azan dari mesjid di ujung gang. Baru saat itulah mereka menyudahi permainan dan pulang ke rumah masing-masing. Semoga saja memang benar pulang ke rumahnya sendiri-sendiri, tidak ke rumah orang lain, tidak nyasar mereka. Di tanah rerumputan ini aku sendiri telentang sambil menikmati suasana langit senja yang sedikit mendung. Hampir sama dengan mendung yang ada di hatiku. Mendung ini tak seperti biasanya karena jika mendung datang pasti ada semilir angin yang bertiup sedang, dan lama kelamaan semakin kencang sehingga membuat orang-orang merasa ngeri dan takut untuk keluar rumah. Mungkin ini pengaruh dari alam yang sudah tak dapat diprediksi lagi bahkan oleh ahli nujum sekalipun. Alam semakin berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri. Pagi menurunkan hujan dan siang bisa jadi menurunkan angin topan. Malam menampakkan panas menyengat sementara sore justru berhawa dingin tanpa ampun menusuk tulang dan persendian sehingga membuat rasa ngilu. Sementara pandanganku masih tetap mengarah ke atas melampaui langit dari ujung utara sampai selatan. Lalu berputar lagi dari arah barat sampai timur. Tetap saja tak dapat menghilangkan rasa gundah yang menjadi setitik mendung di hati. Rasa mendung ini hadir kemarin sore saat seorang kolega menyerahkan sebuah amplop putih berisi surat yang akhirnya aku pajang di atas tempat tidurku, di dinding kamar yang catnya sudah mulai mengelupas. Surat itu kubaca berulang-ulang seakan membuatku semakin tak percaya saja. Semakin kubaca semakin keraguan dan kebimbangan menghampiri fikirku. “Besok sabtu!” Gumamku. Aku tak habis fikir mengapa aku juga diikutkan dalam event ini. Aku harus ikut dalam wawancara di perusahaan ini. Aku memang sering bahkan sudah terbiasa dengan wawancara. Bahkan dalam beberapa bulan terakir aku diminta untuk memberi kuliyah tentang pemasaran perusahaan dan persaingan dunia kerja yang diantaranya juga menyangkut wawancara kerja, di beberapa perguruan tinggi. Tapi ini lain. Masalahnya berbeda. Aku tidak datang untuk wawancara melainkan aku yang akan mewawancarai para pelamar kerja yang pastinya akan banyak yang berasal dari lulusan universitas. Dari universitas yang terkemuka sampai yang baru dibangun pamornya. Dari yang negeri sampai yang swasta. Sebenarnya tak ada masalah karena itu memang tugasku sebagai seorang yang punya reputasi dan possisi terpandang di perusahaan ini. Tapi sekali lagi ini bukan menyangkut keprofesionalitasan ataupun kompetensi yang aku miliki, tapi ini ada kaitannya dngan perasaan. Bayangkan saja aku harus menilai sekian banyak orang dan satu diantaranya akan membawaku ke dalam de javu masa lalu yang sudah kukubur begitu dalam sehingga kalau aku gali akan membutuhkan waktu berbulan-bulan baru bisa menemukannya. Tapi itu kalau aku yang menggali dan aku berniat tak akan menggalinya, sementara sekarang ada orang lain yang akan menggalinya, tepatnya tidak menggali karena dengan mudahnya ia tinggal memungut saja dari tempat yang begitu mudah dijangkaunya. ***************************************************************************** Sabtu pagi, begitu cerah dengan mentari sudah bersinar sejak setengah jam yang lalu. Aku menyusuri jalanan ini yang cukup sepi. Padahal biasanya ramai dipenuhi oleh anak-anak sekolah dan para kuli kerja di pabrik rokok serta di kompleks perumahan yang sedang dibangun. Begitu mudahnya aku menginjak pedal dan memainkan setir. Teringat seperti saat masih kecil aku bermain mobil-mobilan. Pukul 07.30 aku memasuki kantor yang sudah dipenuhi oleh puluhan pelamar di lobi dan ruang tunggu. Penuh berjejalan para calon pengisi posisi-posisi penting dalam perusahaan. Ini karena perusahaan tempat aku menghabiskan masa-masa tuaku ini akan membuka cabang baru di luar kota. Ini yang membuat kami harus mencari banyak karyawan untuk perusahaan cabang itu. “Pak Zul, ini daftar peserta yang lolos saringan pertama. Ada sekitar tujuh puluh lima pelamar.” “Okey.” Dan saat aku melihat nama-nama yang tertera dalam daftar orang-orang yang akan kuwawancarai terdapat satu nama yang tak akan pernah aku lupa. Sebuah nama yang dulu aku dan dia pernah sepakati bersama saat kita mempunyai mimpi yang sama untuk membangun suatu ikatan yang pasti. Namun ikatan yang baru terbagun itu akhirnya harus kuputuskan. Dan kami tak pernah bersatu lagi. Jurang pemisah yang begitu dalam dan tak bisa kami lewati. Kami menyerah. Lebih memilih pasrah terhadap keadaan. “Munfaida Zulkarnaen” Gumamku. Sebuah nama yang dulu aku dan dia sepakati untuk keturunan kita kelak bila yang terlahir adalah seorang perempuan. Namun Tuhan punya rencana lain yang terkadang tidak sesuai dengan harapan serta doa hamba-hambanya. Aku dan dia tak bisa bersatu dalam keridhaanNya. Kita memilih jalan yang lain. Saat itu tampak oleh kami berbagai alternatif-alternatif jalan yang bisa kami pilih yang merupakan jawaban dari doa-doa kami sepanjang petang sampai fajar menyingsing. Seandainya kami berani mengambil risiko karena pilihan bersatu, barangkali cerita yang terukir dalam buku dunianya dan duniaku tak akan seperti yang sekarang ini. Ruangan berukuran 8x6 ini sudah menjadi bagian dari hidupku semenjak pilihan yang aku dan dia pilih mulai kami berlakukan. Konsekuensi itu secara nyata langsung kami aplikasikan dalam kehidupan kami masing-masing. Dia berada di jalannya dan aku berlari di jalanku sendiri. Seperti halnya cat dalam ruangan ini yang sudah diganti empat kali, dulu pernah putih, kelabu, kuning tua, dan sekarang kembali putih namun sudah agak keabu-abuan. Seperti itulah hatiku dalam kehidupanku setelah berpisah dengannya. Sudah enam sembilan pelamar yang sudah kuwawancarai. Ini berarti tinggal enam orang tersisa dan aku ingin nama pelamar yang tadi sempat membuatku teringat akan masa lalu, sengaja aku tempatkan di urutan paling akhir. Aku sengaja karena aku ingin de javu masa lalu yang begitu indah dulu dapat aku rasakan lagi. Aku ingin kembali mengurai kebersamaanku dengan ibunya, Fa’ida namanya. Nama yang sudah terukir dalam, di hatiku. Bahkan ini adalah nama yang sengaja aku pahatkan dengan tinta perak bersepuh emas di dalam hati dan fikirku. Mungkin aku akan curang karena ada dua pilihan saja yang hadir dalam jawaban atas doaku. Apakah aku akan meluluskannya dan membuatnya menjadi bagian dari perusahaan ini. Ataukah pilihan kedua dengan menolaknya sehingga aku tak kan menemukan lagi kenangan-kenangan yang sempat membuatku terpuruk, jatuh dan tak mampu berbuat apapun kala itu. Bahkan keputusan ini sudah aku ambil sebelum aku melakukan wawancara padanya. Dan aku lebih memilihnya tidak masuk dalam perusahaan ini karena aku punya rencana yang menurutku akan bisa meraih impianku dan impian Fa’ida. “Nama anda?” “Munfa’ida Zulkarnaen” “Nama ibu dan ayah anda?” “Nur Munfa’ida, dan………, aku tak pernah tahu siapa nama ayahku karena dulu sebelum aku lahir di dunia ini ia sudah pergi meninggalkan ibuku yang berjuang dalam kesendiriannya. Kata ibu ayah pergi untuk menyelesaikan studinya di luar negeri demi mencapai gelar yang dulu dicita-citakannya. Dan semenjak saat itu ayah tak pernah kembali. Pun ibu sudah mencoba untuk menghubungi ayah lewat telepon, email, bahkan juga seluruh teman-teman ayah sudah dihubungi, namun tetap saja ayah tak terlacak dimana berada. Tapi ibu tetap yakin ayah akan datang kembali kepada kami sehingga ia tetap berjuang sendiri demi aku. Bahkan saat ada orang yang mau meminangnya dulu, ibu tetap menolaknya demi ayah yang sampai sekarang tak kunjung pulang…. “ “maaf, maafkan saya bapak, saya menjadi suka meracau kalau sedang terbawa perasaan dan emosi. Mungkin saya tak berbakat untuk bekerja dengan professional. Barangkali perusahaan tak akan menerima pelamar seperti saya. Maafkan saya bapak. Saya mengundurkan diri saja. Permisi.” ****************************************************************************** Suatu kesalahan lagi yang aku lakukan, karena seharusnya aku hanya mencari tahu bagaimana keadaan psikologi setiap pelamar. Tapi, karena Tuhan menganugerahiku sebagai pendengar yang baik, bahkan lebih baik dari orang-orang yang hidup di negeri ini, sehingga aku terkadang tidak hanya sebatas ingin tahu psikologi seseorang, tapi juga ingin tahu masalah-masalah apa yang sedang mereka hadapi. Ini ada sedikit pengaruh karena aku juga seorang konselor. Sehingga terkadang batas-batas antara dunia yang berbeda itu seakan tak begiu nyata terlihat karena saling berhubungan satu sama lain. Salling mendukung. Saling melampaui. Di akhir sesi ini aku kembali menjadi seorang konselor, bukan seharusnya menjadi seorang yang sedang mengetes psikologi pelamar kerja. Aku memang lebih suka untuk melakukan psikotes dengan cara lain. Kalau perusahaan sering menggunakan cara yang sudah biasa,psikotes dengan seluruh pelamar dikumpulkan jadi satu, justru aku melakukannya dengan versi yang berbeda, versiku sendiri. Aku ingin berkenalan satu per satu dan mengetahui karakter setiap pelamar di perusahaan ini. Dan karena backgroundku juga seorang konselor, maka tak mengherankan jikalau akhirnya aku berubah menjadi konselor di sana. Mungkin ini karena pengaruh perasaan. Perasaan pernah bersalah kepada seorang perempuan yang baru saja aku wawancarai yang tidak lain adalah seorang anak kandungku sendiri. Ya, tepat saat kami menapaki usia ke tujuh bulan pernikahan, telah terjadi badai yang begitu hebatnya memporak-porandakan rumah tangga kami. Harus ada keputusan yang aku ambil dan dampaknya sungguh dasyat. Aku harus memilih untuk meninggalkan Fa’ida, istriku tercinta disaat dia mengandung di usia yang ke tujuh bulan. Sungguh tragis, disaat usia itu adalah merupakan kebahagiaan bagi kami karena biasanya orang tua dari kami akan melakukan ritual adat yakni tingkeban. Namun di luar dugaan justru ritual yang kami nantikan berubah menjadi malapetaka. Ibu ku sakit, dan sakitnya ini tak lain adalah karena ulahku juga. Dulu beliau sempat menjodohkan aku dengan seorang gadis anak sahabatnya yang dulu selalu membantunya. Bahkan berkat sahabatnya itu juga, beliau mampu membangun usaha yang menjadi tumpuan kehidupan keluarga kami. Seorang ibu ternyata lebih tahu mengenai kebahagiaan anaknya sehingga saat aku matur kalau aku ingin menikahi Fa’ida, ibu langsung mengiyakan. Aku berfikir ini benar-benar restu yang tak ada rahasia lagi. Sementara di balik restu ibuku tersimpan rahasia-rahasia yang begitu hebatnya sehingga saat rahasia itu terbuka maka bencana akan melampaui semesta kehidupan kami. Bencana itu! September, 1999. Seorang ibu paruh baya datang ke kediaman ibuku yang sendirian sebatang kara hanya ditemani seorang pembantu, mbok nah. Ibu paruh baya tadi ternyata hendak menagih janji ibu untuk menjodohkan anaknya denganku. Cukup cantik dan pintar pula anaknya. Bahkan setiap laki-laki pasti menginginkannya. Sudah banyak yang melamarnya dan semuanya selalu ditolaknya karena ia tahu bahwa anak sahabatnya lah yang paling berhak untuk meminang anaknya. Maka saat itu juga malamnya ibu menelfonku. Dan dengan berat hati harus jujur mengatakan apa yang ada dibalik rahasia kehidupan seseorang. Terkadang suatu rahasia akan menjadi penglipur lara tapi suatu saat juga bisa menjadi malapetaka. Seperti yang terjadi malam ini. Datang bertubi-tubi kepada kehidupanku dan Fa’ida. Maka aku harus memilih, sementara Fa’ida tak lain pasti selalu sendiko dawuh kepadaku. Ia akan selalu merestui apapun yang aku pilih. Masalahnya sekarang lain. Pilihan ini terlalu sulit, bahkan Fa’ida dan anaknya yang akan menjadi korban. Aku bisa saja poligami. Tapi sahabat ibu tak mau. Ia hanya ingin aku menikahi anaknya dan membangun keluarga yang hanya aku dan anaknya saja, tanpa ada wanita lain. Lalu bagaimana dengan Fa’ida.? Dan inilah pilihan yang akirnya aku ambil. Fa’ida kutinggalkan. Ibu menginginkna Fa’ida tiggal bersamanya, namun ia lebih memilih sendiri. Karena kebersaamaan dengan seorang mertua akan menambah goresan luka semakin dalam. Maka keputusannya ia tetap sendiri membesarkan buah hati yang masih dalam kandungannya. ****************************************************************************** Dua puluh satu tahun berlalu dan semenjak pilihan itu kuambil maka aku tak pernah bertemu lagi dengan Fa’ida. Bahkan sudah tak pernah berhubungan lagi dengannya. Sungguh suatu kesalahan besar. Aku baru tahu kabar tentangnya saat aku membaca CV para pelamar perusahaan ini. Dan kini aku tahu dimana ia tinggal dan aku berharap akan bisa menemukannya, kembali kepadanya lagi karena sekarang aku juga sendiri. Tak akan ada lagi sekat pembatas antara aku dan dia. Dan saat dalam wawancara tadi aku benar-benar ingin memeluknya. Anakku. Anak kandungku yang tak pernah aku mengurusinya dari ia di kandungan ibunya sampai sedewasa ini. Sore itu kuberikan semua data-data pelamar yang masuk dan yang ditolak. Data Munfa’ida, belum aku kasih keputusan entah masuk atau tidak sehingga kolegaku heran dan menanyakan tentang pelamar yang ini. Aku bilang yang ini lain. Nanti aku kasih kabar secepatnya. Pukul 5 sore aku pacu mobilku dengan kencang untuk menemui Fida dan ibunya. Sudah kugenggam erat kertas yang bertuliskan alamatnya. Degup jantung serta bahagia merasuki seluruh tubuhku. Namun rasa bersalah justru lebih berat untuk kupikul sendiri. Entah nanti Fa’ida masih mau menerimaku atau justru dia akan mengusirku dari rumahnya. Semua anggapan negatif harus aku tepis. Ini demi kebaikan dan aku harus terus maju. Rasa malu, bersalah dan mengewakan harus aku buang jauh-jauh dari perasaanku. ****************************************************************************** Nopember 1999 “Dek, mas bingung dan tak bisa menentukan pilihan. Kenapa Tuhan memberikan cobaan yang berat seperti ini.” “Mas, jangan bimbang. Mari kita bersabar dan mas harus yakin dengan pilihan mas. Apapun yang akan menjadi pilihan mas aku menurut.” “Tapi ini berat dek, kalau aku memilih ibu, aku akan meninggalkanmu. Sementara kalau aku tak memilihnya, aku akan menjadi anak paling durhaka.” “Mas, yakin dan berserahlah kepada Tuhan. Apapun yang terjadi nanti biarlah Ia yang menentukan. Sekarang mas tentukanlah pilihan.” “Menurut adek, mas harus bagaimana” “Harus tetap memilih salah satu dan aku tak bisa membantu memilih karena hanya mas yang harus memilih.” “Tapi resikonya akan berimbas kepada kamu juga dek.” “Mas, insyaAllah yang terjadi adalah yang terbaik yang sudah digariskanNya.” “Dek, mungkin mas memang harus kembali kepada ibu mas. Tapi mas mohon nanti kamu tinggaldengan ibu setelah mas menunaikan janji ibu. Maafkan mas, dek….” “Mas, insyaAllah aku di sini akan baik-baik saja. Pergilah mas, Aku meridhai jalan ini. Ini adalah kuasaNya dan pasti akan ada yang terbaik terjadi di akhir cerita. Aku teringat akan hari itu yang menghantuiku. Menunjukkan betapa aku telah melakukan kesalahan yang begitu besar. dosa yang sangat tak termaafkan. Bahkan syetan mungkin tak mengakuiku sebagai temannya karena kesalahan yang begitu dahsyat. Aku kembali bimbang di mobil ini. Tepat di depan rumah Fa’ida. Aku tak berani turun dari mobilku. Aku tetap diam. Diam dan diam. Sampai maghrib menjelang aku masih terdiam di mobil ini dan tak berani turun. Aku takut untuk ketemu Fa’ida, apalagi ketemu dengan anakku. Aku tak kuat menanggung rasa malu yang begitu besar. Apa kata dunia ketika ada seorang laki-laki yang tak bertanggung jawab? Apa kata tetangganya nanti? Apa kata Fa’ida nanti? Apa kata anakku nanti? Barangkali cemoohanlah yang akan mereka sampaikan kepadaku. Dunia akan mengutukku jikalau aku sampai berani menemui Fa’ida dan anaknya. Seolah kabut senja telah mengaburkan fikirku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Maka aku hanya diam dan akirnya aku kembali menjalankan mobilku. Aku pulang. Aku memilih pulang dan tak menemui Fa’ida. Aku takut. Aku malu. Aku…. Aku…. Adalah seorang yang tak berperasaan. Aku harus memilih dan pilihan ini yang aku piklih. Aku seorang pengecut. Tuhan maafkan aku atas pilihan ini. “Fa’ida, aku belum siap untuk menemuimu dan anakmu serta anakku. Maafkan aku.” Dan pilihan itu, yang aku pilih ketika ada kesempatan bersatu dengan Fa’ida masih tetap menghantuiku karena sampai sekarang aku tak berani menemui Fa’ida. Sehingga suatu saat aku mendengar kabar anaknya menikah tanpa wali dariku, tapi dari sini aku selalu memberikan restuku untuknya. Semoga kamu bahagia nak. Dan semoga ini pilihan yang terbaik. Aku dalam kehidupanku. Ibumu dalam kehidupannya. Dan kamu juga telah menemukan kehidupanmu. Di bawah gelapnya mendung siang hari berselendang udara tanpa terik. Semarang 16 Mei 2011 (2.24 p.m.)

go to public: cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

kkntanjungsaribaros@yahoo.co.idgo to public: cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

Jawaban Istiqarah Intan Pukul dua belas tengah malam lewat empat puluh menit belum bisa aku pejamkan mata ini, apalagi terbenam dalam mimpi-mimpi yang indah seperti yang setiap orang harapkan dalam istirahat-istirahat malam mereka, sehingga aku akan mampu untuk melupakan kenangan-kenangan itu. Kenangan masa lalu yang cukup membuatku senang tapi lebih membuatku marah dan larut dalam rasa sedih. kenangan ini pula yang akirnya membuatku harus hanyut dalam jebakan fikiran yang bahkan tak kuingin untuk megingatnya lagi. Malam ini kenangan-kenangan yang telah kukubur dalam di tempat yang sunyi itu perlahan hadir lagi setelah dia hadir lagi dalam sequen-sequen kehidupanku. Tadi sore ia menelfonku, hanya sekedar menanyakan kabar. Dia hadir di saat yang tidak tepat. Bukan salahnya pula kalau dia hadir sekarang, karena yang salah adalah sebenarnya aku mengapa aku terlahir sebagai seorang perempuan yang tak setegar laki-laki dan selalu merasa lemah. Aku terlalu menaruh harapan kepadanya sehingga ketika ia akhirnya menyambut harapanku, selayaknya gayung yang bersambut, bahagia yang kurasa saat itu. Namun bukankah kehidupan itu dipenuhi dengan bahagia dan duka. Maka suatu saat aku juga akan mengalami duka akibat sesuatu yang sudah kupilih ini. Dan karena aku lebih mengunggulkan perasaan ketimbang logika yang tak seperti dia, maka ketika aku merasa tersakiti, akan sulit untuk menyembuhkannya. Maka disaat ada ketakutan, kesedihan dan kegelisahan menyelimutiku, aku membutuhkan sekedar rasa aman yang bisa diberikan oleh orang-orang yang selalu mendukungku. Keluarga barangkali, atau juga para sahabat, teman maupun rekan kerja. Namun yang kuharapkan tidak selalu terjadi karena terkadang apa yang seseorang harapkan belum tentu Tuhan mengabulkan. Dan saat aku benar-benar sudah mulai jatuh dalam kegelisahan yang menjanjikan ketiadaakhiran ini, datang seseorang yang barang kali dia dikirim Tuhan kepadaku. Seorang laki-laki yang berusaha menghiburku. Mengangkat aku kembali dari keterpurukan dan kegelisahan ini. “Mas Duncan! Aku harap kau benar-benar tulus dalam segala sikapmu.” Fikirku dalam hati. Tapi ada yang membuatku tak nyaman sekalipun ia bisa mengembalikanku ke ruang-ruang yang aku harapkan. Namun ia punya maksud lain. Disisi lain ia juga mengharapkan sesuatu dariku. Inilah yang akirnya membuatku berada dalam ruang ketidaknyamanan lagi. Aku tahu ia tidak salah, hanya saja waktu yang tidak tepat yang mempertemukanku dengannya. Dua orang dalam waktu yang sama hadir dalam kehidupanku dan membawaku ke ruang kegelisahan. Seorang hadir sebagai sahabat yang dulu pernah membuat luka di hatinya dan juga hatiku. Ingin kembali menyambung simpul persahabatan yang sempat putus. Sementara yang satu hadir dengan beribu janji yang terimplikasi lewat perilakunya kepadaku untuk membuat seorang sahabat merasa bahagia dalam mengarungi hidup. Mungkin sebagai teman, tapi ia berharap lebih sepertinya. Dan inilah yang membuatku begitu gelisah. Kubuka chat di laptopku. Ada Mas Duncan disana mengirim pesan untukku. Duncan: “Assalamu alaikum.... Halo dik...” Intan: “w'alaikumsalam, halo juga mas.” Duncan: “apa kabar dik? lagi dimana ?” Intan: “kabar baik,, ini lagi di kamar kos. lha kamu bagaimana mas?” Duncan: “baik..... juga... begadang?” Intan: “hu'um banyak pikiran” Duncan: “sedang mikirin apa dik?” Yuan: “pokoknya banyak sampai tak bisa disebutin satu per satu lah. lha kamu kenapa belum tidur mas??” Duncan: “sedang membuat inspirasi.... heheheh, kalau lagi banyak pikiran jangan dipendam sendiri... dibagi-bagi ja.... biar bisa merasa plong ntar...” Intan: “hu'um mas, tapi belum saatnya... ini kenangan masa lalu muncul kembali kok.” Duncan: “ow..... Ada yang bilang kenangan masa lalu itu akan membuat seseorang akan lebih kuat dalam mengarungi kehidupan....” Intan: “iya mas, tapi menurutku kenangan masa laluku sudah berakibat terburuk bagiku sampai-sampai aku tak mau mengenangnya lagi.” Duncan: “jangan dikenang.... tapi dipelajari ja untuk bekal penguat saat jatuh di waktu yang kan datang, semoga tak kan pernah jatuh lagi....” Intan: “amiiiin.....” Duncan: “any way kenangan tentang cowok kah?” Intan: “hahaha...” Duncan: “kok cuma senyum.....” Intan: “hu'um yang dulu waktu di tempat mas tak ceritain itu lhoo….” Duncan: “terus sekarang keadaan dan kondisinya bagaimana...?” Intan: “aku kan sama dia sudah hampir satu tahun tak pernah komunikasi lha tadi sore tiba-tiba dia telepon aku,, dan barusan dia pulang dari sini. Tadi dia maen kesini mas. Aku memang seneng dia masih ingat aku tapi aku juga sebel banget mas…” Duncan: “kok malah sebel..... kan dia masih ingat kamu dan mungkin pengen hubungan ini tetap terjaga (silaturahimnya)” Intan: “ya aku tahu tapi kan jadi membuatku teringat masa lalu mas,,, aku memang masih berhubungan baik dengan keluarga dan teman-temannya tapi sengaja tak mau berhubungan dengannya Tadi, dia malah yang menghubungiku duluan.” duncan: “masa lalu yang diingat yang manis-manis ja.... yang pahit dilupain ja.. biar nggak jadi sebel..” Intan: “kok gitu? Nanti kalau aku ingat-ingat yg manis ntar malah bisa jadi gawat gmn??” Duncan: “nggak...., asal punya keyakinan nggak akan nyampai kesana.... (kembali ke hal2 yang bisa ngebuat gawat)” Intan: “Itu masalahnya mas.. aku saja tak yakin karena sebenarnya aku masih sayang dia hehehehe” Duncan: “rasa sayangnya diubah ja... dulu kan rasa sayang sebagai."......." sekarang rasa sayang tetep ada tapi sebagai teman...” Intan: “iya mas, tapi sulit karena dia tlah nyakitin aku kalau rasa sayang jadi musuh saja bagaimana??” Duncan: “wah.... jangan....., kita ubah cara pandangnya ja....” Intan: “maksudnya?” Duncan: “justru karena dia tlah nyakitin itu adalah sebagai pelajaran yang berharga yang bisa kita dapat. kalau kita tak pernah merasa disakitin kita akan tumbuh tanpa bisa merasakan rasa sakit sehingga kita akan sulit untuk ikut bisa merasakan rasa sakit orang lain..” Intan: “waaah… benar juga ya…. Okey, bisa dicoba tapi yang pasti sulit” Duncan: “hu um akan terasa sulit, tapi aku yakin pasti bisa untuk dicoba. I am sure you can do it. Hidup kedepan lebih baik untuk menambah teman, bukan berjalan untuk menamban permusuhan.... biar hidup jadi tenang... juga bahagia.” Intan: “okey2... bahas lain aja yuuukkkzz nggak pulang?” duncan: “setuju,,,, mungkin 2 tahun lagi dek mas baru pulang...” Ada sedikit ketakutan juga mengenai mas Duncan. Dia begitu baik, bahkan setiap perlakuannya kepadaku selalu merekah ketulusan darinya. Sebagai seorang sahabat yang selalu ingin membuat sahabatnya merasa bahagia. Mungkin Tuhan memang menganugerahkan kepadanya bakat untuk membuat orang-orang disekitarnya bahagia. Tapi aku tetap saja takut. Takut kalau suatu saat dia menginginkan sesuatu dariku. Karena kebaikan seorang laki-laki kepada perempuan biasanya mengandung suatu maksud tertentu. Tapi aku berharap dia tidak. Dia lain dari manusia normal lainnya. Aku berharap dia adalah malaikat yang selalu melakukan tugas dari Tuhan untuk kebaikan di bumi tanpa adanya hasrat dan nafsu bagi pribadi mereka. Sehingga barangkali mas Duncan benar-benar tulus dalam perhatiannya kepadaku. **************************************************************************** Taman kota, merupakan suatu tempat yang bisa menghadirkan rasa nyaman untuk orang-orang yang selalu sibuk dengan rutinitas ruangan. Melepas sejenak diri ke alam bebas adalah hal yang menarik. Inilah yang kulakukan setiap pagi untuk membuat diriku yakin mampu menghadapi kehidupanku. Selalu hadir mendampingiku mas Duncan di taman ini, sekalipun sebenarnya dia tak begitu berminat dengan taman dan segala keramaiannya karena ia lebih suka di tempat dimana ia bisa berteriak dengan bebas. Itulah makna kebebasan yang selalu dipegannya. Pantai. Pantai adalah tempatnya yang bisa membuatnya merasa bisa menyatu dengan alam. Begitu juga aku baru bisa merasakannya ketika kemarin ia membawaku kesana sekedar untuk melepas gundah gulana yang kurasa. Aku bisa menikmatinya dengan begitu bahagianya karena barangkali sudah lama aku tak merasakan situasi seperti ini. Mungkin di usiaku yang sudah hampir menginjak duapuluh empat ini baru sekali ini aku bisa merasakan kebebasan yang menghidupkan asaku serta mengembalikan semangat kehidupanku. “Dik, mas minta maaf, besok mas akan ke luar negeri. Mungkin dalam waktu yang cukup lama. Dua tahun.” “>>>>….>>>>>…..” Aku tak sanggup untuk menanggapi ucapan-ucapan mas Duncan yang mengalir deras bagaikan air terjun Niagara di negara yang akan ditujunya. Begitu ringannya ia mengucapkannya walaupun sebenarnya ia mungkin sudah latihan selama mungkin.karena aku tahu mas termasuk orang yang perasa. Perpisahan baginya adalah sesuatu hal yang sangat berat, apalagi dia juga yang mengakibatkan perpisahan ini terjadi. Tapi mas lebih bisa percaya diri. Ia mampu mengendalikan dirinya dengan pasti dan selalu yakin dengan apa yang menjadi prinsip serta keputusannya. Ia seorang yang berani menagambil suatu pilihan sekalipun pilihan-pilhan itu selalu berakibat menyusahkannya. Tapi ia sadar dengan hal itu dan justru memilihnya karena ia yakin bisa berteman dengan akubat—akibat dari pilihannya. Inilah yang selalu membuatku kembali tegar dengan pilihan yang aku pilih. Namun pilihan ini bukan aku yang memilih tapi mas Duncan. Ia yang memilih pergi. Ia yang memilih untuk meninggalkanku. “Hati, apakah kau benar-benar jatuh hati?” “Bukankah dulu kau bilang dia hadir disaat yang tak tepat, karena kau menganggap dia punya maksud lain. Tapi ternyata dia memang tulus. Sementara kamu justru yang mengharapkan lebih. Hati kamu terlalu naïf.” Bulir-bulir bening menetes setetes demi setetes membasahi kedua pipiku. Terus menetes hingga aku tak kuasa lagi menahannya. Aku masih belum yakin apakah ini benar-benar nyata. Aku menangis. menangis untuk kali keduanya dengan benar-benar menangis. ***************************************************************************** Malam semakin sunyi dengan angin bertiup semakin kencang dan rintik gerimis di atas dedaunan yang bergoyang semakin membuat suasana gelisah semakin menjadi-jadi. Gelisah diluar, alam yang sedang mengamuk dengan angin bertiup kencang, juga gelisah di dalam hati serta fikiranku. Aku gelisah akan fikirku ini. Dan kegelisahan ini semakin menjadi dengan kembalinya kak Dani. Ia kembali hadir di kehidupanku, ingin kembali kepadaku. Tuhan aku bingung sekarang. Kenapa orang yang kuharapkan pergi sementara kau mengirim seorang lagi yang pernah membuat luka di hatiku bahkan sampai sekarang belum juga kutemukan obat yang bisa menyembuhkannya dengan sempurna. Pukul dua lewat lima belas menit aku masih juga belum bisa memejamkan mata ini. Aku beranjak ke kamar mandi. Cukup lama disana menikmati tetesan-testesan air dari kran yang begitu terus mengalir selalu ke bawah dan tak pernah menetes ke atas. Air selalu menetes ke bawah. Selalu. Sementara hati selalu bergerak ke arah yang tak bisa diperkira. Selalu bisa berubah dengan begitu cepatnya. Kubasuh muka ini dengan air yang menetes tadi dan bisa kurasakan hawa sejuk yang bisa menenangkan. Bahkan hujan angin diluar tak bisa lagi membuat hatiku gelisah.. “Allahu Akbar” “Tuhan dalam sujudku ini aku ingin mengadu kepadamu. Aku tersadar tak ada seorangpun yang bsa membuang kegelisahan dari hatiku. Bahkan seorang yang telah Engkau kirimkan, dia memang mampu menghilangkan kegelisahan ini namun hanya sejenak. Aku baru tersadar Tuhan, maafkan aku.” Seminggu kemudian aku sudah harus berdiri dengan jalanku sendiri dan caraku sendiri. Ini adalah suatu pilihan dan akulah yang berhak serta harus melakukannya. Karena aku hidup di dunia ini juga merupakan suatu pilihan, maka aku sendiri yang harus menanggung atas apapun yang tlah kuputuskan dalam hidupku. Mas Duncan tlah pergi dan dalam kepergiannya ia lebih memilih untuk menghilang dari kehidupanku. Tak pernah lagi ia menghubungiku. Mungkin inilah yang dulu pernah ia katakan bahwa kekuatan terbesar dan yang paling kuat itu bukanlah darinya tapi sudah ada dengan sendirinya dalam diriku, hanya saja aku yang belum menyadarinya. Itu bukan karena aku seorang wanita, karena di berbagai banyak hal terkadang seorang wanita itu ternyata lebih kuat daripada laki-laki. ****************************************************************************** Mas Dani kembali bersamaku di malam ini. Ia begitu nyata tak hanya lewat telefon ynag berdering layaknya hanya suara yang kudengar seperti dua bulan lalu. Dia bahkan yang kini ada untukku sebagai bagian yang saling mengisi. Untuk kembali menjadikanku bagian darinya seperti yang dulu pernah sempat kita membuat janji. Sudah sebulan ini aku menjadi seorang yang paling bahagia dalam kehidupanku. Menjadi seorang istri bagi seorang suami yang baik. Inilah yang diajarkan kepadaku oleh kakekku saat aku masih berumur awal belasan dulu, bahwa nanti seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik dan begitulah juga seorang wanita yang baik akan mendapatkan laki-laki yang baik. Alam sudah dengan begitu baiknya mengatur pasangan-pasangan dalam ikatan rumah tangga. “Mas, tadi aku dapat surat dari USA.” “Dari mas Duncan dek?” “Iya, tapi bukan dia yang mengirim melainkan teman satu kantornya di sana.” “Semoga dia baik-baik saja dek di sana.” “Iya mas, dia baik sekali bahkan sekarang sedang berada di tempat yang paling baik ketimbang kita dan semua manusia di sini.” Perlahan butiran-butiran air mataku yang tak pernah menetes lagi semenjak kepergian mas Duncan kini kembali berjatuhan. Mas Duncan terima kasih atas semuanya dulu. Tuhan biarkanlah mas Duncan kembali kepadaMu. Terimalah semua kebaikannya. Aku yakin dia sekarang berada di tempat yang Engkau sediakan bagi hamba-hambaMu yang selalu menjaga kebaikan di bumiMu ini. Dan aku semakin yakin kalau inilah yang baru aku bisa menyadarinya bahwa kehidupan yang baik itu adalah jika dua orang bersatu dengan saling mengisi dan meridhai. Dan tak semua yang tampak baik olehku itu akan menjadi suatu yang baik. Dan Engkau sungguh Dzat yang membuat apapun slalu bisa terjadi. Aku baru menyadarinya andaikata aku dulu bersikeras untuk memilih menunggu mas Duncan, barangkali niatku untuk menyempurnakan agamaku tak kan pernah terlaksana sampai sekarang. Tuhan, terima kasih Kau tlah berikan Mas Dani kepadaku. “ …. Dek Intan, ini adalah surat yang kutulis saat aku berjuang dengan suatu nikmat yang besar dari Tuhanku. Saat dimana kanker dalam otakku sudah semakin menjadi-jadi. Aku semakin merasa dekat denganNya. Semoga kamu selalu dalam lindunganNya dan berbahagia di sana…………..” Sebuah penggalan surat mas Duncan yang dikirim seminggu yang lalu. Beralamat di New York atas nama Diego Morailes. Dalam keheningan dinihari di bawah sorot lampu putih yang begitu terangnya. 26 April 2011 at 02.55 WIB.

Selasa, 19 April 2011

KONSEP CINTA

CINTA berarti aku mengetahui orang yang aku cintai. Menyadari begitu banyak aset pada dirinya, bukan cuma sisi baiknya tetapi juga keterbatasan, inkonsistensi, dan kelemahan-kelemahannya.

CINTA berarti aku peduli pada kesejahteraan orang yang aku cintai. Dalam ketulusanku, kepedulianku bukan untuk mengikat seperti barang yang kumiliki, Sebaliknya aku peduli pada pertumbuhan dan aku berharap semoga ia menjadi apapun yang ia inginkan, sekalipun aku harus merasakan ketidaknyamanan dalam menjalani waktu.

CINTA berarti memiliki rasa hormat terhadap harga diri orang yang aku cintai. Aku bisa melihatnya sebagai seseorang yang terpisah dariku, dengan nilai-nilainya, pikiran-pikirannya dan perasaan-perasaannya dan aku tidak memaksakan untuk menyerahkan identitasnya, menyesuaikannya pada citra yang aku harapkan.

CINTA berarti memiliki tanggung jawab terhadap orang yang aku cintai. Bila aku mencintainya, aku responsive terhadap kebutuhan-kebutuhannya sebagai satu pribadi. Tanggung jawab ini tidak mengikatku untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan sendiri. Ia hanyalah untuk menyandarkanku akan siapa aku dan apa yang aku lakukan untuknya, dengan begitulah aku kemudian langsung terlibat dalam kebahagiaan dan kesulitannya.

CINTA berarti tumbuh bagiku bersama orang yang aku cintai. Bila aku mencintainya, aku menjadi tumbuh karena cintaku. Ia menjadi stimulan bagiku guna memenuhi keinginanku mewujudkan diriku yang kuinginkan, demikian pula cintaku akan meningkatkan kesadaran pada dirinya. Masing-masing tumbuh karena kepedulian kita dan karena kita dipedulikan.

CINTA berarti membuat komitmen kepada orang yang aku cintai. Komitmen itu tidak berarti penyerahan diri secara total masing-masing pribadi, bukan pula berarti bahwa hubungan harus permanen. Komitmen ini mengandung keinginan untuk selalu bersama-sama di saat-saat sedih, saat-saat sulit, saat-saat melewati suatu perjuangan dan kepedihan, sebagaimana tetap bersama dalam ketenangan dan kebahagiaan.

CINTA berarti mungkin aku terluka bila aku membuka diri karena percaya padanya, aku mungkin akan mengalami kesedihan, penolakan, atau kehilangan. Karena ia tidak sempurna, ia mempunyai kapasitas untuk melukaiku, dan tidak ada jaminan dalam cinta.

CINTA berarti mempercayai orang yang aku cintai. Bila aku mencintainya, aku percaya ia akan menerima kepedulianku dan cintaku, serta keyakinan bahwa dia tidak akan melukaiku dengan sengaja. Aku percaya ia akan melihatku sebagai seseorang yang layak dicintai dan ia tidak akan mengabaikanku.

CINTA bisa mentolelir ketidaksempurnaan. Dalam sebuah hubungan cinta ada saat-saat bosan, saat ketika ingin rasanya aku menyerah saja, saat-saat sulit dimana aku nyaris tidak mampu bertahan, namun aku masih memiliki kemampuan untuk mengingat apa yang sama-sama pernah kami miliki di masa yang lalu dan bahwa aku bias membayangkan apa yang akan aku dapatkan di masa depan seandainya kami cukup berani menghadapi masalah-masalah kami dan memecahkannya bersama-sama.

CINTA itu memebebaskan. Cinta diberikan secara bebas tidak diserahkan karena permintaan.

CINTA itu meluas. Bila aku mencintainya, aku mendorongnya untuk membentuk dan mengembangkan hubungan-hubungan yang lain. Sekalipun hidup kami untuk satu sama lain, dan komitmen kami berdua menjadi inti dari apa yang kami lakukan, tetapi kami tidak secara total dan eksklusif terikat satu sama lain. Kami adalah pribadi-pribadi yang interdependen yang membutuhkan kehadiran yang lain untuk memenuhi takdir kami. Sekalipun demikian, kami juga individu yang terpisah. Kami harus berjuang atas nama kami sendiri.

CINTA berarti mengidentifikasikan diri dengan orang yang aku cintai. Bila aku mencintainya, aku bisa berempati padanya dan melihat dunia melalui matanya. Aku bisa mengidentifikasikan diri padanya karena aku bias melihat diriku di dalam dirinya dan dirinya di dalam diriku. Kedekatan ini tidak berarti sebuah kebersamaan yang terus menerus, karena jarak dan keterpisahansering kali esensial dalam hubungan percintaan. Jarak dapat memperkuat ikatan cinta dan ia akan membantu kami menemukan kembali diri kami sehingga kami bisa bertemu lagi dalam sebuah cara yang baru.

CINTA itu selfish. Aku hanya bisa mencintainya bila ia secara tulus mencintai, menilai, menghargai, dan menghormati diriku sendiri. Bila aku kosong, maka yang aku bisa berikan adalah kekosonganku.

CINTA yang matang adalah kesatuan dalam menjaga integritas tiap orang, individualitas masing-masing. Dalam cinta paradox ini terjadi: bahwa ketika dua manusia menjadi satu mereka tetaplah dua.

CERPEN PERTAMAKU

Dunia Ketidakpastian Kau dan Aku
Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan di malam yang terlanjur hujan sudah mereda
ini. Kukirimkan sebait kalimat untukmu. Kaupun membalasnya dengan segera dan kau bilang
sedang mendengarkan lagu-lagu yang kau sukai, yang sebenarmya adalah lagu yang kusuka juga.
Kau bilang kau sedang menulis sesuatu, sedangkan aku tak tahu apa yang sedang kau tulis
karena saat aku sudah membalas sms yang ketiga dan sudah kukirim kepadamu, justru kau tak
membalasnya lagi. Kau raib. Menghilang di saat sebenarnya aku ingin kau hadir malam ini untuk
menemani kesendirianku. Sedang apakah dirimu? Aku yakin kamu belum terlelap oleh dewa
mimpi yang membawamu kedalam mimpi di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bewarna
warni serta dihinggapi berbagai macam kupu-kupu yang setiap orang ingin menangkapnya.
Kau sedang duduk sendirian di taman itu sedang menunggu seseorang tanpa kepastian
namun hanya keyakinan akan ada yang datang. Dan saat kau berbalik dari arahmu yang semula,
tiba-tiba datang seorang pangeran yang menaiki seekor kuda putih dengan segenggam mawar
merah muda dalam balutan plastik kertas bewarna biru, warna yang paling kau suka. Pangeran
tadi datang kepadamu dan mengajakmu naik di atas pelana kudanya yang bewarna putih bersih
nan suci. Dan saat pangeran tadi membawamu menyusuri sungai yang alirannya tak begitu deras
karena musim hujan sudah tak lagi hadir menemani, tiba-tiba kau terbangun dan kau temukan
dirimu sedang duduk termenung dalam lamunan dengan perhatianmu kembali kepada HP yang
sedari tadi masih kau genggam dalam tangan kirimu, bukan mawar merah pemberian kekasih
yang kau tunggu tak kunjung tanpa kepastian.
Aku tulis beberapa bait lagi dalam layar ini, tapi kuurungkan untuk mengirimkannya
kepadamu karena aku tahu kau sedang tak ingin membacanya, sekalipun sebenarnya kamu ingin
dan sedang menantikannya. Barangkali moment yang belum pas. Karena kau sedang menunggu
dan orang yang sedang kau tunggu ternyata juga sedang menunggumu dalam kepastiaannya.
Namun kepastiaannya tak sama dengan kepastian yang kau harapkan sehingga kau
menginginkan sebuah kejelasan darinya. Namun dia tak kunjung menerima sinyal-sinyal yang
telah kau sampaikan lewat aliran udara bebas, lewat air embun di pagi buta serta lewat tanah
yang selalu kau injak saat kau masih kecil. Tapi memang begitulah aku adanya. Aku tetap akan menunggumu sekalipun aku tak bisa
memberi sebuah kepastian karena di dunia ini tak ada yang pasti sebelum benar-benar terjadi.
Semuanya tampak abstrak dan hanya hidup dalam kira-kira. Hidup dalam ketidakmenentuan.
Hanya kemungkinan yang masih bisa dipegang dan dipertahankan. Dan aku lebih memilih
kemungkinan yang bagimu seperti air yang digodog dalam periuk tanpa api yang menyala.
Hanya tungku yang diam saja. Seperti itulah aku percaya bahwa air yang digodog tadi pasti akan
masak tapi masih menunggu lama karena api belum juga menyala disana. Barangkali api itu
adalah kamu sementara tungku itulah aku yang sedang menunggumu, sementara air yang akan
dimasak itulah cinta yang sedang aku dan kau akan semai bersama suatu saat. Tinggal menunggu
waktu kapan Tuhan akan menjawab doaku serta doamu.
Pagi ini langit tak secerah biasanya. Padahal ini sudah terhitung bulan menginjak musim
dimana mentari akan bersinar terik membakar apa yang ada di bumi. Tapi tampaknya mentari
begitu hafal kapan dia harus muncul dan kapan dia harus bersembunyi dibalik tirai hitam, bukan
tirai kuning yang selalu kau gunakan untuk bersembunyi dalam penantian di malam-malam sepi
menunggu seseorang untuk membukanya. Salah satunya adalah aku yang kau harapkan untuk
membukanya lalu membawamu ke alam ketidaksadaran, membuatmu linglung dan lupa akan
segalanya.
Pagi ini, karena langit sedang bersedih maka mentari lebih pragmatig dan tahu diri
membiarkan langit untuk menikmati kesedihannya dan tak mau mengganggunya. Sesekali angin
lumayan kencang bertiup membantu sesenggukan langit biar ia benar-benar tampak sedang
bersedih. Lalu rintik air matanya turun dengan perlahan tapi penuh kepastian. Ya, penuh
kepastian karena ketika ia sedih maka ia akan mengeluarkan air matanya lewat mega-mega hitam
yang menggelantung di mukanya. Ini beda dengan dirimu di pagi ini. Kau tetap seperti biasa.
Sudah tak serapuh dulu kala. Kau sudah menemukan resep untuk mengarungi perjalanan
kehidupan yang tak menentu dengan penuh keyakinan. Padahal dulu kau sangat rapuh dan selalu
jatuh.
Ya, benar! kekuatan itu pastilah akan datang serta membuatmu lebih bisa tegar dalam
dunia ini. Namun sepertinya resep itu tak mau bekerja di pagi ini. Kau coba untuk menenangkan
diri dengan lamunan sambil mendengarkan lagu-lagu yang aku dan kau suka. Lagu-lagu yang
menjadi kenangan bagi kita dan seakan de javu akan berulang untuk kesekian kalinya walaupun hanya dalam lamunan. Kau tetap terdiam, katamu sambil mengirim lagi pesan yang segera
membangunkanku dari lamunanku tentang kenangan itu.
“Pak Zu….”
Sebuah pesan singkat yang menunjukkan kegalauanmu.
“Iya Yut, ……”
Dan segera pesan-pesan lain berulang-ulang aku kirim dan kau terima. Kau juga
membalas berbait-bait pesan itu hingga di pesan terakir kau kirim pesan yang tak bisa aku
menjawabnya. Aku jawab tapi tak seperti yang kau harapkan karena aku lebih memilih
melakukan ketidakpastian dalam suatu kemungkinan dengan keyakinanku. Sementara kamu
lebih memilih dalam keyakinanmu sebuah kepastian yang benar-benar jelas dan nyata. Mengapa
di dalam hal yang paling penting ini kau dan aku justru mengalami perbedaan?
*****************************************************************************
Hari kelima setelah perpisahan kita, terasa begitu membuatku terpuruk. Tak ada satupun
karya yang selesai kukerjakan. Aku tak tahu kabar tentangmu lagi. Kau kembali raib. Maka pagi
itu juga aku pacu jantungku untuk menyusulmu ke rumahmu. Barangkali kau sudah berada di
rumah. Karena yang bisa kembali mengobati kegalauamu hanyalah ibu. Seorang ibu lebih
memahami seorang anaknya ketimbang seorang kekasih sekalipun. Karena ikatan batin ibu dan
anak lebih kuat, lebih pasti
Kucari seharian penuh dimana rumahmu dan hingga jam 21.00 aku tak juga
menemukannya. Aku tersesat di kota ini. Kota yang begitu asing bagiku karena ini kali
pertamanya aku berada di sini. Putus asa sudah diriku yang begitu tak dapat menguasai fikirku
dan perasaanku. Aku lebih dikendalikan oleh luapan emosi yang terus menyala dikipasi oleh
syetan-syetan yang beberapa hari ini dengan rela dan senang hati menemaniku. Di alun-alun ini
aku menemukan tempat kembali. Masjid! Ya, masjid yang berdiri dengan kokohnya dengan
kubah besar bulat. Di sanalah tempat untuk kembali dalam kepastian.
Di dalamnya sepi, tak satupun kulihat manusia yang mau menyinggahi tempat yang suci
ini di malam ini. Tempat ini justru sepi melenggang. Namun di sisi kiri sebelah pojok depan tampak olehku sesosok dalam balutan mukena biru. Kembali membuatku terbawa dalam de javu
dua bulan lalu saat kau dan aku masih bersama. Kau kenakan mukena biru saat kau dan aku
kembali kepadanya. Menghadap Sang Khalik dan menjadikan hatiku serta hatimu tak pernah
gundah lagi. Barang kali kegundahanku selama ini karena aku terasa sepeti menjauhiNya.
Padahal dulu kau dan aku selalu meyakini kalau Dia selalu dekat dengan diri kita.
Malam ini, di kota yang asing bagiku aku menemukan tempat yang begitu sangat aku
kenali. Tempat untuk menghilangkan kegundahan dan kembali dalam keyakinan menapaki
samudera kehidupan. Dalam sujudku menetes berpuluh butiran bening, tak dapat kutahan.
Barangkali hanya kau, dan beberapa sahabat saja yang hafal kapan butiran bening pasti menetes
dari kedua bola mataku. Tapi kau tak pernah bilang itu cengeng. Ya, aku cengeng ketika
dihadapan Tuhanku. Dalam sujud terakirku kudengarkan de javu lantunan suaramu yang begitu
merdu melantunkan ayat-ayatNya.
“Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
“Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.”
Ayat yang mengembalikanku kepada kenyataan dan keyakinan bahwa semua pasti akan
kembali kepadaNya. Namun sebelum tiba waktu itu, setiap manusia memiliki sebuah tugas di
dunia ini yang harus diselesaikan. Tugas akan adanya dia. Dan tugas itu akan terejawantah dan
terintegralkan dalam turunan-turunan yang semakin banyak. Lantas salah satu tugas itu adalah
mensyukuri nikmat Tuhan. Kenapa bersyukur? Karena dengan bersyukur seseorang akan
terbawa dalam kesadaran dimana dia sedang berada dan apa yang mesti dilakukannya.
Malam yang sunyi ini mengantarkanku kepada jawaban-jawaban yang selama ini kucari.
Kembali, ya! kembali adalah yang selama ini kurisaukan dan kucari-cari. Kembali kepada diriku
sendiri dan memahami siapa sebenarnya aku. Kembali lagi kudengar lantunan ayat itu.
Kali ini semakin dekat dan semakin keras dengan beberapa orang yang mengucapkannya.
“Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
“Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan..” Tuhan aku merasa tak pernah untuk mendustakan nikmat yang telah Kau beri. Aku selalu
mencoba untuk bisa bersyukur kepadaMu. Namun malam ini, hari ini tepatnya aku linglung,
bimbang dengan yang kurasa.
*****************************************************************************
Di balik tirai kuning itu kau masih menunggu dengan penuh harapan. Kini tirai kuning itu
telah tersibak olehku. Tangan kananku menyentuhnya, tapi……, disana tak kutemukan jua
dirimu yang menanti karena kau telah memilih untuk yang pasti. Kau lebih memilih untuk pergi.
Karena aku terlambat barangkali. Kau telah memilih untuk menjauh dariku. Tapi aku yakin di
fikirmu akan tetap terpatri dengan kokoh diriku di sana. Sebuah kemunginan dan kepastian.
Lantas kau sekarang sedang dimana? Di tirai yang mana? Dapatkah aku menemukanmu?
Bahkan aku baru sadar kalau tirai yang kau maksud itu bukanlah sebenarnya tirai. Itu adalah
fatamorgana seperti yang ada di gurun pasir. Saat itu istri Baginda Nabi Ibrahim ingin mencari
air untuk minum anaknya, Ismail. Ia berlari kesana kemari seakan air itu begitu dekat dengannya.
Dia melihat genangan demi genangan yang dapat menghapus rasa dahaganya dan dahaga
bayinya. Namun sepanjang ia berlari yang diketemukannya hanyalah pasir-pasir gurun yang
terbaur dengan angin saat angin bertiup dengan begitu angkuhnya.
Tapi tiba-tiba air dalam fatamorgana itu sangat dekat. Dibawah kaki sang bayi. Mengucur
begitu derasnya hingga mampu untuk menghapus dahaga sebanyak manusia yang
menginginkannya. Dan saat itu aku tersadar kalau tirai itu memang dekat denganku. Tak hanya
denganku tapi dengan semua makluk. Tirai itu adalah sang surya yang tiap hari memanggang
para kuli-kuli yang bekerja. Aku baru menangkap sasmitha darimu kalau yang kamu maksud
adalah sinar surya yang membakar. Kau butuh seseorang yang akan melindungimu dari
sengatannya. Maka aku kan datang untuk menyibaknya. Menyibak tirai itu dan menjadikanmu
merasa nyaman terlindungi darinya.
Aku akan terus mencari sampai tirai yang sedang menyembunyikanmu kutemukan. Aku
yakin sekarang kalau kamu masih tetap menungguku entah dimana. Karena sang mentari terus
bersinar melingkupi seluruh daratan serta lautan di bumi ini. Selama bumi ini masih merasakan
sinar kasihnya berarti kau masih tetap ada untukku. Ya, sekarang aku begitu yakin serta merasa
dekat denganmu. Tak hanya denganmu tapi juga dengan Tuhanku. Kembali lagi ayat itu yang kudengar dan kini aku tersadar aku sedang berada di dalam
masjid. Tapi bukan masjid yang tadi. Kini aku berada di sebuah rumah tepatnya. Sayup-sayup
kubuka kedua mataku yang kelelahan dan kupandangi wajahmu hadir di depanku. Aku kembali
bermimpi lagi.
“Pak zu…. Sudah bangun…?”
Tapi ini benar-benar suaramu. Aku tidak bermimpi. Ya aku sedang bersamamu. Aku baru
tersadar kalau sedari tadi aku sedang tidur di kamar yang biasa kau tidur di sana. Siang ini aku
mengigau lagi untuk yang entah ke berapa. Kau tetap setia untuk menungguiku dan merawatku.
Aku mengigau seakan takut karena aku tak kan menemukanmu lagi. Takut akan ada tirai-tirai
penghalang lagi yang akan menghalangi keyakinanku dan keyakinanmu. Mengembalikan ke
dalam ruang ketidak pastian.
Aku sadar sekarang aku masih nyata di sini dalam dekapan perawatanmu. Aku sakit. Aku
demam. Tapi rasa sakit ini hanya seperti saat kau merasakan minum obat saja. Tak begitu terasa.
Justru aku sedang sakit fikir. Sedang kelelahan.
“Iyut…., jam berapa?”
“Jam 2 pak…., kamu belum sholat dhuhur…, ayo bangun kita jamaah.”
Dan inilah sasmitha itu. Kembali menghadapMu Tuhan. Disaat aku sedang tak punya
pegangan Engkau menghadirkan kekuatan lewat dia yang selalu ada untukku. Disaat aku dalam
kebimbangan Engkau dekatkan dia padaku untuk mencapai ridhaMu. Aku kembali dalam
ketidakpastian ini menghadapMu bersama dengannya. Kita berdua akan kembali kepadaMu.
“Allahu akbar.”

Semarang, 22 maret 2011. 10.23 A.M
(dalam sebuah ketidakpastian di bawah atap yang sedang terombang-ambing)
untuk yang sedang ditunggu tanpa sebuah kejelasan.