Senin, 06 Mei 2013

Sang Waktu Dan ibu bercerita pd pagi yg mengantar lahirku ke dunia Pagi yg hening tiba tiba ramai oleh tangisku Sembari terdengar senyum bhagia mereka akan hadirku Lalu kusapa dhuhaku saat aku mulai belajar merangkak Menyusuri rahmat cerah pagi yg penuh rizki Dalam pncarian itu kubertanya Tuhan, aku tlah menemumu dlm dhuha yg penuh berkah Sampai terik siang memanggang ikan ikan di batas tempayan Aku mulai berjalan Mulai berlari Mulai menapaki samudera baligh Yg mmbuatku tahu apa itu dosa dan pahala Lalu asharmu memanggil manggil lewat bedug masjid yg tlah usang Barang sebentar aku menoleh tiba tiba Sudah kutemu diriku dlm balutan senja Dikelilingi cucu cucu yg saling bekejaran Sungguh secepat ini kah sang waktu? Baru aku keluar dr rahim ibu di keheningan pagi tadi Dan kini kutemu cucu cucu sudah mengelilingi senjaku; Lalu kuadukan pd isya yg baru berlalu Tiba tiba Engkau peluk aku dlm penutupan witirku Ah waktu; begitu cepatny berlalu Tuhan; pd ridhoMu aku mengetuk malu
SEPATU PUTIH Sepatu warna putih ini sudah tak seperti warna aslinya lagi. Tepatnya cream, coklat, atau bahkan agak kekuningan adalah warna-warna yang menghiasi sepatu yang dimiliki gadis ini. Konon sepatu ini sudah turun temurun dari masa ibu dari ayahnya dan sekarang dia yang mewarisinya. Sekalipun sudah usang, namun sepertinya sepatu ini selalu menemukan keindahan dengan hiasan-hiasan perawatan Sang Ayah yang selalu memberi sentuhan artistik lukisan-lukisan dengan cat lukisnya. Ayahnya adalah seorang seniman lukis yang cukup terkenal di kotanya. Namun setelah meningggalnya sang istri, ia sudah tak mau melukis lagi. Terakir adalah saat ia sedang mengadakan pameran lukisan di Eropa. Saat itu ayahnya meninggalkan istrinya yang sedang hamil Sembilan bulan. Saat itu juga istrinya melahirkan seorang anak pertama. Seorang gadis cantik yang kini sudah berusia sembilan tahun yang dia beri nama Kinanti Rahayu Lailatul Fitria. Saat melahirkannya, ibunya meninggalkan mereka. Meninggalkan ayah dan dirinya dalam dunia fana ini. Sejak itulah angka Sembilan akirnya menjadi angka yang paling diingat oleh ayahnya. Sehingga di usianya yang ke sembilan ini ayahnya sengaja tidak merayakan sebuah pesta seperti tahun-tahun sebelumnya. Ayahnya hanya bilang pada suatu malam di hari jadinya ini. “Selamat ulang tahun ya Kinan. Ini sepatu milik ibumu dari Nenekmu. Ayah harap kamu bisa mewarisinya dari nenek dan ibumu.” ********************************** Tepat usianya kini menginjak dua puluh sembilan. Sepatu putih itu masih ia simpan dalam kotak merah. Sepatu itu yang kini masih disimpannya sebagai harta satu-satunya dari ayahnya. Ayahnya telah meninggal setahun yang lalu dan ia masih belum mampu mengabulkan permintaan ayahnya. Dulu ayahnya berharap ia menjadi ballerina seperti ibunya, juga neneknya. Namun ternyata semesta menakdirkan hal lain. Ia justru mengikuti jejak sang ayah, melukis. Kini ia sudah mempunyai galeri lukisan yang selalu dinanti karya-karyanya. Seperti sebuah pepatah “Buah jatuh tak akan pernah jauh dari pohonnya”. Dia akirnya membakati apa yang dimiliki sang ayah. Namun ketenaran yang diraihnya belum bisa menentramkannya. Ia masih berfikir kepada siapa kelak sepatu putih itu akan dia berikan. Karena sejauh ini ia belum menikah. Belum tentu pula ia akan memiliki seorang anak perempuan nanti. Bahkan ia baru ingat kalau ia tak akan punya anak karena rahimnya telah diangkat akibat sebuah kecelakaan enam bulan lalu. “Ah, aku lebih baik ke sekolah balerina saja.” Segera ia ambil kotak merah berisi sepatu putih itu. Ia memacu mobilnya menyusuri jalanan kota Paris. Saat ditengah perjalanan ia mulai berfikir lagi. Ia belokkan mobilnya ke bangunan yang sering dikunjunginya, sebuah cafĂ©. Ia tak melanjutkan perjalanannya ke sekolah ballerina. Saat ia memarkir mobilnya, ia tak keluar juga sampai setengah jam berada dalam mobil sambil merenung. “Sepatu ini sudah usang. Kalaupun kuberikan kepada seorang gadis tentu ia tak kan mau menerimanya, apa lagi memakainya. Ah, aku pusing.” Ia keluar dari mobilnya, lalu masuk menyusuri halaman parkir yang cukup luas menuju cafe Bordeaux. Cafe ini yang selalu membuatnya menemukan inspirasi untuk karya-karya lukisannya selama ini. Namun sekrang cafe ini tak bisa memberi inspirasi untuk hatinya yang sedang kacau, risau. Tak terdefinisikan oleh imajinasinya. “Kring….” “Hello, this is Kinan. Whom am I speaking to?” “Hello. This is Andrea. I want to have a painting of a pair of shoes. And the title is the missing shoes. Can you help me to draw it? Please. This is my daughter’s request of her nine’s birthday.” “Yes. I’ll send it two more weeks. Ok.” “Ok. Thanks a lot. See ya.” Terlalu asik dan larut dalam imajinasinya, ia lupa kalau sedari tadi belum memesan apa-apa di sana. Ia keluarkan sebuah buku dari tasnya lalu memesan cappuccino panas. Lalu ia terlarut dalam dunia kata yang dipegangnya. Ya, itulah gaya seorang seniman selalu mempunyai dunia sendiri dalam imajinasi. Dan bisa membuat dunia penuh makna dalam balutan karya. Mulailah ia menulis lagi dalam buku diarinya. ************************* Dua minggu berlalu dan rapilah sudah sebuah mahakarya lukisan sepasang sepatu yang diberi judul olehnya The Missing Shoes. Ia sangat puas dengan lukisan yang satu ini. Ia tidak mengimajinasikan. Ia benar-benar membuat sebuah lukisan yang beraliran realism. Ia hanya melukis sebuah sepatu warisan dari ayahnya. Sepasang sepatu yang kemarin ia hiasi juga dengan kuas-kuas yang selalu dimainkannya dalam kanvas-kanvas kosong. “Paling tidak kalaupun aku tak mampu mengabulkan permintaan ayah, aku bisa membuat lukisan ini sebagai ganti sepatu putih ini yang akan kuberikan kepada seorang gadis sebagai hadiah ulang tahunnya.” Gumam Kinan. “Kring…” Bunyi sms dari hp Kinan. “Hello, Mrs. Kinan. I’ve transferred the money to your account. Now, I’m waiting for you in the Stone Rock. Hopefully you can pick the picture here. I am waiting for you with my beloved daughter.” “Yes, please await me for about ten minutes. Thanks.” Kinan membalas sms Mr. Andrea. Sebuah mobil silver meluncur di jalanan yang mulai turun salju. Winter telah mulai menyambut dataran Eropa, tak terkecuali ibu kota Paris. Kota ini sedang tertaburi butiran-butiran halus yang turun bak anugerah bunga-bunga putih berterbangan menghiasi seluruh kota. Kinan memacu mobilnya berharap bisa menemui client-nya di tempat yang sudah mereka buat janji. Sebuah taman. Ah, tepatnya sebuah pekuburan yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang sebentar lagi tertutup warna putih. Sperti warna sepatu putih Kinan. Sampai juga Kinan di pekuburan. Ia melihat seorang gadis yang digandeng ayahnya. Itulah client yang ditujunya. Seorang single parent dan seorang gadis cantik. Kinan mulai terbawa dalam suasana jatuhan es halus yang membawanya ke alam lain. Ia memandang termenung sebelum turun dari mobilnya. “Hi. I am Mr. Andrea, and this is my beloved daughter Keenan Andrea.” “Nice to meet you Andrea, and you too Keenan. I am Kinan.” “Is it a coincidence that my daughter’s name is same with you?” “Hi. Mrs. Kinan. Nice to meet you.” How are you?” “Great. How are you Keenan?” “I am fine Mrs. Kinan” “Umm, I don’t know. But sometimes I always believe it. Ah, who knows? It is only always depending on Him, right?” “Absolutely.” …………………….. Saturday, 12 – 6 – 2012 Pekuburan keluarga. Bandung “IBu, Nenek dan Kakek. Aku datang hari ini. Sekalipun aku belum pernah tahu wajah kalian. Aku hanya tahu dari cerita-cerita yang ayah ceritakan saat menjelang tidur malamku. Dan barangkali ayah juga sudah bercerita kepada kalian semenjak setahun lalu. Ia meninggalkanku di sini dan menyusul kalian di alam yang tenang sana. Maafkan aku bu, aku tak sempat mengecup punggung tanganmu dan aku juga tak sanggup memenuhi tradisi dan harapan ibu. Aku tak bisa menjaga sepatu itu. Aku tak mewarisi bakat ibu. Ada yang bilang kalau pengetahuan itu bisa dilatih, tapi ini lain bu. Seni itu tak bias kubakati. Sekeras apapun aku berlatih aku tak kan bisa mencapainya. Kalaupun aku bisa, barangkali dalamnya tak kan ada rasa. Padahal dalam pencapaian tertinggi sebuah seni itu adalah rasa.” “Kata ayah, Ibu juga selalu bilang begitu. Ayah selalu bercerita bu saat malam menjelang peraduanku pada mimpi. Ayah selalu bilang kalau semua itu berawal dari rasa sehingga manusia akan selalu dipenuhi dengan kebahagiaan. Kadang kala aku bertanya sendiri bahagia seperti apa yang dimaksud ayah. Sampai sejauh ini aku belum bisa memaknainya bu. Yang aku fahami hanyalah aku harus menyatu dengan seni yang aku geluti. Jadi hanya itu bu. Aku belum bias membawanya dalam kehidupanku. Aku masih lajang bu.” “Bu, hari ini aku ke sini menjengukmu. aku berterima kasih kepada ibu yang tlah melahirkanku ke dunia ini. Sebenarnya aku ingin bercerita panjang bu. Tapi sebelumnya aku minta maaf bu. Aku tak bisa menjadi Balerina seperti ibu atau pun nenek. Kata ayah ibu adalah seorang ballerina yang sangat dikagumi banyak orang. Tapi ternyata aku tak mewarisinya darimu bu. Barangkali ini mungkin karena kita tak sempat bertemu bu, sehingga yang melekat pada diriku adalah jiwa dari ayah. Aku menjadi pelukis bu.” “Tapi jangan kawatir bu, sepatu itu sudah ada yang mewarisinya. Tapi dia bukan darah dagingku bu. Maaf bu aku masih lajang dan kalau aku menikah pun aku tak kan bisa memberi seorang cucu untuk ibu. Aku mengalami kecelakaan dan rahimku tlah diangkat. Aku tak kan bisa punya anak, bu.” “Kemarin aku tlah memberikan sepatu itu pada seorang anak kecil yang sedang berulang tahun ke sembilan. Kebetulan ia sangat suka bu. Kata ayahnya ia sedang belajar ballerina juga. Barangkali dia yang akan mewarisi bakat ibu. Entahlah bu, tiba-tiba hatiku tergerak saat bertemu dengannya untuk memberikan sepatu itu. Apakah ini kebetulan bu? Ataukah ini kehidupan yang sudah digariskan?” “Ah, bu aku tak mau bercerita lagi, pasti ibu juga sudah tahu dari sana karena sejatinya sekalipun aku tak pernah mengenal dan melihatmu bu, tapi aku yakin kasihmu akan selalu melingkupiku. Seperti kasih Sang Pencipta yang selalu diberikan kepadaku. Bu, besok aku akan kembali lagi ke paris. Aku ke sini hanya ingin menyampaikan tenang sepatu itu saja. Besok aku kembali ke universitas bu. Aku ingin mengabdi di sana. Aku diminta menjadi tenaga pengajar di sana bu. Sorbone university.” ……………………. Paris, Desember 2012 Pukul dua siang menjelang tahun baru aku ada janji untuk menemani Keenan yang akan menggunakan sepatu putih itu untuk pertama kalinya dalam pertunjukannya. Malam tahun baru nanti akan ada pertunjukan ballerina klasik yang akan dibawakan olehnya. Ia berjanji akan memakai sepatu itu asalkan aku mau untuk menemaninya dan datang menyaksikannya. Masih seminggu lagi dan tiap sore aku sempatkan sepulang dari universitas ini untuk menengoknya latihan di sekolah balerina. Aku ingin melihat semangatnya yang tak pernah padam. Aku sadar bahwa sebenarnya semangatnya sangat menyala-nyala seperti yang selalu diberikan oleh ayahnya, namun sebenarnya ia membutuhkan sentuhan kasih seorang wanita. Ia membutuhkan perhatian seorang ibu dan barangkali aku cukup untuk menjadi pengobar semangatnya itu. “I am very happy if you always come here to see us. I hope you will be my mother some day.” “ What do you think dad?” “Umm, yah Mrs. Kinan will always come here.” “You will always be here, won’t you?” “Yes, off course dear, Keenan.” Sabtu sore selepas menengok Keenan di sekolah ballerina, ayahnya mengajak kami bertiga untuk makan dulu di sebuah restoran. Dan saat malam tiba ia mengantarkanku. Saat itu Keenan sudah terlelap. Sepertinya ia cukup lelah dengan latihannya hari ini. Karena porsi latihannya ditambah cukup banyak dan pasti sangat menguras tenaganya. Ah, Keenan, seorang gadis yang cantik yang bernasib sama denganku, harus ditinggal ibunya dari semenjak kecil. “Mrs. Kinan, tanks a lot for supporting my daughter.” “Oh yeah, no problem.” “Umm, she always tells everything about you whenever she met people, to her friends, me, and all her relatives. She wants you to be her mother. And….. in the fact you are very good person.” “I propose you, Mrs. Kinan. Would you marry me? And become her mom” Oh Tuhan aku tak mampu berkata-kata lagi. Apa yang harus kujawab? Ada satu hal yang masih mengganjal pada diriku. Engkau tlah menciptaku dengan tanpa bisa mempunyai anak. Kalau aku menikah untuk apa Tuhan? Apa ada seorang laki-laki yang akan menerimaku. Dia belum tahu Tuhan kalau aku tak bisa memberinya seorang anak. “Mr. Andrea. I can’t answer it now. Plese give more time.” Untunglah mobil sudah sampai di depan rumahku. Artinya aku bisa langsung turun dan masuk ke rumah tanpa harus bingung untuk memberi jawab apa kepada Ayah Keenan. Aku terselamatkan. Thanks a lot God. “See you.” “Bye” …………………………………………….. Hari yang dinanti Keenan tiba. Malam tahun baru dimana ia akan tampil pertama kalinya untuk tarian ballet menyambut tahun baru di sebuah aula kecil di pinggiran kota Paris. Kami bertiga berangkat bersama. Sejak sore Keenan sudah berada di rumahku. Ia hanya ingin bersamaku. Seperti anak-anak yang lain seusianya, dalam hal yang paling penting pada kehidupan, mereka pasti membutuhkan sosok seorang ibu untuk mengadu dan membesarkan hati mereka. Itulah anak-anak. Pukul delapan malam acara sudah dimulai dengan pembukaan sebuah pentas drama. Sehabis ini akan disusul tarian balet dari sekolah Keenan. Dibalik panggung aku bersama ayahnya menyemangati Keenan. Aku genggam erat tangannya. Aku berusaha menguatkannya. Sentuhan tangan lembutku sepertinya bisa menenangkannya. Seolah berkata, “Keenan, you are always alright. Do the best yah. I’m here with you.” Dan saat Keenan tampil di panggung, aku dan ayahnya kembali ke depan menyaksikan tarian Keenan dan teman-temannya yang sungguh menakjubkan. Seumur hidupku ini kali pertamanya aku menyaksikan tari balet dari jarak dekat. Sangat indah dan menawan. Aku berteriak “Keenan, you are great”. Tiba-tiba aku terbawa seperti ke alam lain. Panggung Keenan menari berubah menjadi padang salju. Ah, aku mulai berhalusinasi. Di padang itu aku sendirian duduk di sebuah bangku taman yang berhias taburan salju. Di depan hanya kusaksikan Keenan menari. Namun tiba-tiba ada sesosok perempuan lain. Aku seperti tak asing dengan sosok itu. Wajahnya seperti mirip denganku. Aku mulai berfikir apakah ia ibuku? Aku masih belum yakin karena ibuku telah meninggalkan dunia ini selepas kelahiranku. Aku belum pernah melihatnya. Aku hanya melihatnya lewat sebuah foto yang selalu diletakkan di dompet ayah. Aku berlari dan berteriak ingin memeluk sosok tadi. “Ibu……..!” Tiba-tiba semua menjadi gelap. Dan saat aku membuka kedua mataku, aku sudah menemukan diriku terbaring lemah di rumah sakit. Di sampingku ada Keenan yang sedari tadi menangis ditemani Andrea. “Kinan, are you ok?” “Yes.” “Andrea, I met my mom. She danced with your daughter and I want to embrace her.” Aku mengadu pada Andrea sambil sesenggukan menangis. Ia memegang erat tanganku seperti saat aku memegang erat tangan putrinya. Seperti mengalirkan kekuatan bagiku untuk segera membaik dan tegar lagi. “Oh, Tuhan, aku harus bagaimana? Apa yang terjadi denganku?” …………………….. Bandung, 11 Januari 2012 Seminggu setelah aku pingsan di perayaan tahun baru, aku meminta Andrea untuk menemaniku ke Indonesia. Kita ajak juga Keenan yang kini selalu bersamaku seperti seorang anak dengan ibunya. Kami bertiga ke Indonesia untuk mengunjungi makam ibuku. Di depan pusara ibu, aku bertanya pada Andrea apakah ia akan mengajukan pertanyaan seperti saat mengantarku pulang dulu. Ia langsung menjawab ya. Demi anaknya yang selalu membutuhkan seorang ibu, dia ingin aku menikah dengannya dan membesarkan Keenan bersama. Aku bilang kepadanya kalau aku tak bisa memberinya keturunan, namun ia tetap hanya ingin menikahiku dan membangun sebuah keluarga bersama putri kecilnya. Ia benar-benar mencintaiku. Aku mengiyakan dan kami bertiga menghadap pusara ibuku untuk meminta restu. “Bu, ini mungkin kali terakir aku mendatangi pusara ibu. Aku tahu ibu kemarin mendatangiku saat perayaan tahun baru di Paris. Aku yakin itu adalah restu dari ibu supaya aku segera menikah. Di sisi lain mungkin ini juga pertanda tradisi keluarga kita sebagai penari balet tak akan pernah berhenti. Aku telah menemukannya bu. Aku telah menemukan pewaris sepatu putih itu. Keenan, bu. Dia seorang gadis kecil yang kebetulan bernama sepertiku. Aku telah memberikan sepatu itu kepadanya. Ibu bisa melihat sendiri kan saat dia menari di panggung itu. Dia begitu cantik dan menawan. Ya bu, dia lah pewaris sepatu itu. Meskipun dia bukan darah dagingku, tapi inilah takdir yang mempertemukanku dengannya. Yang akan selalu menjaga sepatu putih itu. Aku juga baru sadar inilah yang ayah maksud dulu bahwa sepatu putih itu punya filosofi tersendiri. Penuh dengan warna kehidupan. Sepatu putih, bukan berarti warnanya seputih salju. Tapi ia dikelilingi banyak warna karena di dalamnya saja terpendar warna pelangi.” Di bawah cerah langit Kota Bontang berhias awan-awan putih berarak 1 April 2013 at 02.45 P.M. Ah, apa makna hidup Saat engkau membuka kedua mata di pagi buta Lalu kau temukan senyum merekah menghiasi wajahmu Wajah ibumu, wajah ayahmu,wajah istrimu, wajah anakmu Dan wajah-wajah mereka Dan kau kan terus mencari makna ini Sampai semua tersenyum oleh hadirmu Tidak kah kau tahu? Bahwa semestamu adalah titipan, Titipan dari NYA Yang harus slalu kau jaga Dalam balutan senyum penuh kesyukuran Ah, hidup. Betapa indahnya dirimu