Sabtu, 26 Mei 2012

cerpen ke dua_ jawaban istikharah Intan

Jawaban Istiqarah Intan Pukul dua belas tengah malam lewat empat puluh menit belum bisa aku pejamkan mata ini, apalagi terbenam dalam mimpi-mimpi yang indah seperti yang setiap orang harapkan dalam istirahat-istirahat malam mereka, sehingga aku akan mampu untuk melupakan kenangan-kenangan itu. Kenangan masa lalu yang cukup membuatku senang tapi lebih membuatku marah dan larut dalam rasa sedih. kenangan ini pula yang akirnya membuatku harus hanyut dalam jebakan fikiran yang bahkan tak kuingin untuk megingatnya lagi. Malam ini kenangan-kenangan yang telah kukubur dalam di tempat yang sunyi itu perlahan hadir lagi setelah dia hadir lagi dalam sequen-sequen kehidupanku. Tadi sore ia menelfonku, hanya sekedar menanyakan kabar. Dia hadir di saat yang tidak tepat. Bukan salahnya pula kalau dia hadir sekarang, karena yang salah adalah sebenarnya aku mengapa aku terlahir sebagai seorang perempuan yang tak setegar laki-laki dan selalu merasa lemah. Aku terlalu menaruh harapan kepadanya sehingga ketika ia akhirnya menyambut harapanku, selayaknya gayung yang bersambut, bahagia yang kurasa saat itu. Namun bukankah kehidupan itu dipenuhi dengan bahagia dan duka. Maka suatu saat aku juga akan mengalami duka akibat sesuatu yang sudah kupilih ini. Dan karena aku lebih mengunggulkan perasaan ketimbang logika yang tak seperti dia, maka ketika aku merasa tersakiti, akan sulit untuk menyembuhkannya. Maka disaat ada ketakutan, kesedihan dan kegelisahan menyelimutiku, aku membutuhkan sekedar rasa aman yang bisa diberikan oleh orang-orang yang selalu mendukungku. Keluarga barangkali, atau juga para sahabat, teman maupun rekan kerja. Namun yang kuharapkan tidak selalu terjadi karena terkadang apa yang seseorang harapkan belum tentu Tuhan mengabulkan. Dan saat aku benar-benar sudah mulai jatuh dalam kegelisahan yang menjanjikan ketiadaakhiran ini, datang seseorang yang barang kali dia dikirim Tuhan kepadaku. Seorang laki-laki yang berusaha menghiburku. Mengangkat aku kembali dari keterpurukan dan kegelisahan ini. “Mas Duncan! Aku harap kau benar-benar tulus dalam segala sikapmu.” Fikirku dalam hati. Tapi ada yang membuatku tak nyaman sekalipun ia bisa mengembalikanku ke ruang-ruang yang aku harapkan. Namun ia punya maksud lain. Disisi lain ia juga mengharapkan sesuatu dariku. Inilah yang akirnya membuatku berada dalam ruang ketidaknyamanan lagi. Aku tahu ia tidak salah, hanya saja waktu yang tidak tepat yang mempertemukanku dengannya. Dua orang dalam waktu yang sama hadir dalam kehidupanku dan membawaku ke ruang kegelisahan. Seorang hadir sebagai sahabat yang dulu pernah membuat luka di hatinya dan juga hatiku. Ingin kembali menyambung simpul persahabatan yang sempat putus. Sementara yang satu hadir dengan beribu janji yang terimplikasi lewat perilakunya kepadaku untuk membuat seorang sahabat merasa bahagia dalam mengarungi hidup. Mungkin sebagai teman, tapi ia berharap lebih sepertinya. Dan inilah yang membuatku begitu gelisah. Kubuka chat di laptopku. Ada Mas Duncan disana mengirim pesan untukku. Duncan: “Assalamu alaikum.... Halo dik...” Intan: “w'alaikumsalam, halo juga mas.” Duncan: “apa kabar dik? lagi dimana ?” Intan: “kabar baik,, ini lagi di kamar kos. lha kamu bagaimana mas?” Duncan: “baik..... juga... begadang?” Intan: “hu'um banyak pikiran” Duncan: “sedang mikirin apa dik?” Yuan: “pokoknya banyak sampai tak bisa disebutin satu per satu lah. lha kamu kenapa belum tidur mas??” Duncan: “sedang membuat inspirasi.... heheheh, kalau lagi banyak pikiran jangan dipendam sendiri... dibagi-bagi ja.... biar bisa merasa plong ntar...” Intan: “hu'um mas, tapi belum saatnya... ini kenangan masa lalu muncul kembali kok.” Duncan: “ow..... Ada yang bilang kenangan masa lalu itu akan membuat seseorang akan lebih kuat dalam mengarungi kehidupan....” Intan: “iya mas, tapi menurutku kenangan masa laluku sudah berakibat terburuk bagiku sampai-sampai aku tak mau mengenangnya lagi.” Duncan: “jangan dikenang.... tapi dipelajari ja untuk bekal penguat saat jatuh di waktu yang kan datang, semoga tak kan pernah jatuh lagi....” Intan: “amiiiin.....” Duncan: “any way kenangan tentang cowok kah?” Intan: “hahaha...” Duncan: “kok cuma senyum.....” Intan: “hu'um yang dulu waktu di tempat mas tak ceritain itu lhoo….” Duncan: “terus sekarang keadaan dan kondisinya bagaimana...?” Intan: “aku kan sama dia sudah hampir satu tahun tak pernah komunikasi lha tadi sore tiba-tiba dia telepon aku,, dan barusan dia pulang dari sini. Tadi dia maen kesini mas. Aku memang seneng dia masih ingat aku tapi aku juga sebel banget mas…” Duncan: “kok malah sebel..... kan dia masih ingat kamu dan mungkin pengen hubungan ini tetap terjaga (silaturahimnya)” Intan: “ya aku tahu tapi kan jadi membuatku teringat masa lalu mas,,, aku memang masih berhubungan baik dengan keluarga dan teman-temannya tapi sengaja tak mau berhubungan dengannya Tadi, dia malah yang menghubungiku duluan.” duncan: “masa lalu yang diingat yang manis-manis ja.... yang pahit dilupain ja.. biar nggak jadi sebel..” Intan: “kok gitu? Nanti kalau aku ingat-ingat yg manis ntar malah bisa jadi gawat gmn??” Duncan: “nggak...., asal punya keyakinan nggak akan nyampai kesana.... (kembali ke hal2 yang bisa ngebuat gawat)” Intan: “Itu masalahnya mas.. aku saja tak yakin karena sebenarnya aku masih sayang dia hehehehe” Duncan: “rasa sayangnya diubah ja... dulu kan rasa sayang sebagai."......." sekarang rasa sayang tetep ada tapi sebagai teman...” Intan: “iya mas, tapi sulit karena dia tlah nyakitin aku kalau rasa sayang jadi musuh saja bagaimana??” Duncan: “wah.... jangan....., kita ubah cara pandangnya ja....” Intan: “maksudnya?” Duncan: “justru karena dia tlah nyakitin itu adalah sebagai pelajaran yang berharga yang bisa kita dapat. kalau kita tak pernah merasa disakitin kita akan tumbuh tanpa bisa merasakan rasa sakit sehingga kita akan sulit untuk ikut bisa merasakan rasa sakit orang lain..” Intan: “waaah… benar juga ya…. Okey, bisa dicoba tapi yang pasti sulit” Duncan: “hu um akan terasa sulit, tapi aku yakin pasti bisa untuk dicoba. I am sure you can do it. Hidup kedepan lebih baik untuk menambah teman, bukan berjalan untuk menamban permusuhan.... biar hidup jadi tenang... juga bahagia.” Intan: “okey2... bahas lain aja yuuukkkzz nggak pulang?” duncan: “setuju,,,, mungkin 2 tahun lagi dek mas baru pulang...” Ada sedikit ketakutan juga mengenai mas Duncan. Dia begitu baik, bahkan setiap perlakuannya kepadaku selalu merekah ketulusan darinya. Sebagai seorang sahabat yang selalu ingin membuat sahabatnya merasa bahagia. Mungkin Tuhan memang menganugerahkan kepadanya bakat untuk membuat orang-orang disekitarnya bahagia. Tapi aku tetap saja takut. Takut kalau suatu saat dia menginginkan sesuatu dariku. Karena kebaikan seorang laki-laki kepada perempuan biasanya mengandung suatu maksud tertentu. Tapi aku berharap dia tidak. Dia lain dari manusia normal lainnya. Aku berharap dia adalah malaikat yang selalu melakukan tugas dari Tuhan untuk kebaikan di bumi tanpa adanya hasrat dan nafsu bagi pribadi mereka. Sehingga barangkali mas Duncan benar-benar tulus dalam perhatiannya kepadaku. **************************************************************************** Taman kota, merupakan suatu tempat yang bisa menghadirkan rasa nyaman untuk orang-orang yang selalu sibuk dengan rutinitas ruangan. Melepas sejenak diri ke alam bebas adalah hal yang menarik. Inilah yang kulakukan setiap pagi untuk membuat diriku yakin mampu menghadapi kehidupanku. Selalu hadir mendampingiku mas Duncan di taman ini, sekalipun sebenarnya dia tak begitu berminat dengan taman dan segala keramaiannya karena ia lebih suka di tempat dimana ia bisa berteriak dengan bebas. Itulah makna kebebasan yang selalu dipegannya. Pantai. Pantai adalah tempatnya yang bisa membuatnya merasa bisa menyatu dengan alam. Begitu juga aku baru bisa merasakannya ketika kemarin ia membawaku kesana sekedar untuk melepas gundah gulana yang kurasa. Aku bisa menikmatinya dengan begitu bahagianya karena barangkali sudah lama aku tak merasakan situasi seperti ini. Mungkin di usiaku yang sudah hampir menginjak duapuluh empat ini baru sekali ini aku bisa merasakan kebebasan yang menghidupkan asaku serta mengembalikan semangat kehidupanku. “Dik, mas minta maaf, besok mas akan ke luar negeri. Mungkin dalam waktu yang cukup lama. Dua tahun.” “>>>>….>>>>>…..” Aku tak sanggup untuk menanggapi ucapan-ucapan mas Duncan yang mengalir deras bagaikan air terjun Niagara di negara yang akan ditujunya. Begitu ringannya ia mengucapkannya walaupun sebenarnya ia mungkin sudah latihan selama mungkin.karena aku tahu mas termasuk orang yang perasa. Perpisahan baginya adalah sesuatu hal yang sangat berat, apalagi dia juga yang mengakibatkan perpisahan ini terjadi. Tapi mas lebih bisa percaya diri. Ia mampu mengendalikan dirinya dengan pasti dan selalu yakin dengan apa yang menjadi prinsip serta keputusannya. Ia seorang yang berani menagambil suatu pilihan sekalipun pilihan-pilhan itu selalu berakibat menyusahkannya. Tapi ia sadar dengan hal itu dan justru memilihnya karena ia yakin bisa berteman dengan akubat—akibat dari pilihannya. Inilah yang selalu membuatku kembali tegar dengan pilihan yang aku pilih. Namun pilihan ini bukan aku yang memilih tapi mas Duncan. Ia yang memilih pergi. Ia yang memilih untuk meninggalkanku. “Hati, apakah kau benar-benar jatuh hati?” “Bukankah dulu kau bilang dia hadir disaat yang tak tepat, karena kau menganggap dia punya maksud lain. Tapi ternyata dia memang tulus. Sementara kamu justru yang mengharapkan lebih. Hati kamu terlalu naïf.” Bulir-bulir bening menetes setetes demi setetes membasahi kedua pipiku. Terus menetes hingga aku tak kuasa lagi menahannya. Aku masih belum yakin apakah ini benar-benar nyata. Aku menangis. menangis untuk kali keduanya dengan benar-benar menangis. ***************************************************************************** Malam semakin sunyi dengan angin bertiup semakin kencang dan rintik gerimis di atas dedaunan yang bergoyang semakin membuat suasana gelisah semakin menjadi-jadi. Gelisah diluar, alam yang sedang mengamuk dengan angin bertiup kencang, juga gelisah di dalam hati serta fikiranku. Aku gelisah akan fikirku ini. Dan kegelisahan ini semakin menjadi dengan kembalinya kak Dani. Ia kembali hadir di kehidupanku, ingin kembali kepadaku. Tuhan aku bingung sekarang. Kenapa orang yang kuharapkan pergi sementara kau mengirim seorang lagi yang pernah membuat luka di hatiku bahkan sampai sekarang belum juga kutemukan obat yang bisa menyembuhkannya dengan sempurna. Pukul dua lewat lima belas menit aku masih juga belum bisa memejamkan mata ini. Aku beranjak ke kamar mandi. Cukup lama disana menikmati tetesan-testesan air dari kran yang begitu terus mengalir selalu ke bawah dan tak pernah menetes ke atas. Air selalu menetes ke bawah. Selalu. Sementara hati selalu bergerak ke arah yang tak bisa diperkira. Selalu bisa berubah dengan begitu cepatnya. Kubasuh muka ini dengan air yang menetes tadi dan bisa kurasakan hawa sejuk yang bisa menenangkan. Bahkan hujan angin diluar tak bisa lagi membuat hatiku gelisah.. “Allahu Akbar” “Tuhan dalam sujudku ini aku ingin mengadu kepadamu. Aku tersadar tak ada seorangpun yang bsa membuang kegelisahan dari hatiku. Bahkan seorang yang telah Engkau kirimkan, dia memang mampu menghilangkan kegelisahan ini namun hanya sejenak. Aku baru tersadar Tuhan, maafkan aku.” Seminggu kemudian aku sudah harus berdiri dengan jalanku sendiri dan caraku sendiri. Ini adalah suatu pilihan dan akulah yang berhak serta harus melakukannya. Karena aku hidup di dunia ini juga merupakan suatu pilihan, maka aku sendiri yang harus menanggung atas apapun yang tlah kuputuskan dalam hidupku. Mas Duncan tlah pergi dan dalam kepergiannya ia lebih memilih untuk menghilang dari kehidupanku. Tak pernah lagi ia menghubungiku. Mungkin inilah yang dulu pernah ia katakan bahwa kekuatan terbesar dan yang paling kuat itu bukanlah darinya tapi sudah ada dengan sendirinya dalam diriku, hanya saja aku yang belum menyadarinya. Itu bukan karena aku seorang wanita, karena di berbagai banyak hal terkadang seorang wanita itu ternyata lebih kuat daripada laki-laki. ****************************************************************************** Mas Dani kembali bersamaku di malam ini. Ia begitu nyata tak hanya lewat telefon ynag berdering layaknya hanya suara yang kudengar seperti dua bulan lalu. Dia bahkan yang kini ada untukku sebagai bagian yang saling mengisi. Untuk kembali menjadikanku bagian darinya seperti yang dulu pernah sempat kita membuat janji. Sudah sebulan ini aku menjadi seorang yang paling bahagia dalam kehidupanku. Menjadi seorang istri bagi seorang suami yang baik. Inilah yang diajarkan kepadaku oleh kakekku saat aku masih berumur awal belasan dulu, bahwa nanti seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik dan begitulah juga seorang wanita yang baik akan mendapatkan laki-laki yang baik. Alam sudah dengan begitu baiknya mengatur pasangan-pasangan dalam ikatan rumah tangga. “Mas, tadi aku dapat surat dari USA.” “Dari mas Duncan dek?” “Iya, tapi bukan dia yang mengirim melainkan teman satu kantornya di sana.” “Semoga dia baik-baik saja dek di sana.” “Iya mas, dia baik sekali bahkan sekarang sedang berada di tempat yang paling baik ketimbang kita dan semua manusia di sini.” Perlahan butiran-butiran air mataku yang tak pernah menetes lagi semenjak kepergian mas Duncan kini kembali berjatuhan. Mas Duncan terima kasih atas semuanya dulu. Tuhan biarkanlah mas Duncan kembali kepadaMu. Terimalah semua kebaikannya. Aku yakin dia sekarang berada di tempat yang Engkau sediakan bagi hamba-hambaMu yang selalu menjaga kebaikan di bumiMu ini. Dan aku semakin yakin kalau inilah yang baru aku bisa menyadarinya bahwa kehidupan yang baik itu adalah jika dua orang bersatu dengan saling mengisi dan meridhai. Dan tak semua yang tampak baik olehku itu akan menjadi suatu yang baik. Dan Engkau sungguh Dzat yang membuat apapun slalu bisa terjadi. Aku baru menyadarinya andaikata aku dulu bersikeras untuk memilih menunggu mas Duncan, barangkali niatku untuk menyempurnakan agamaku tak kan pernah terlaksana sampai sekarang. Tuhan, terima kasih Kau tlah berikan Mas Dani kepadaku. “ …. Dek Intan, ini adalah surat yang kutulis saat aku berjuang dengan suatu nikmat yang besar dari Tuhanku. Saat dimana kanker dalam otakku sudah semakin menjadi-jadi. Aku semakin merasa dekat denganNya. Semoga kamu selalu dalam lindunganNya dan berbahagia di sana…………..” Sebuah penggalan surat mas Duncan yang dikirim seminggu yang lalu. Beralamat di New York atas nama Diego Morailes. Dalam keheningan dinihari di bawah sorot lampu putih yang begitu terangnya. 26 April 2011 at 02.55 WIB.

Tidak ada komentar: