Kamis, 03 Maret 2011

poem and literature

Kota yang bias
Siapakah dia, yang berkata “aku anak kota”
Kulihat sosoknya saja, tak ada yang beda
Tangannya dua juga, kakinya dua bahkan ekor dia tak punya juga
Tapi orang bilang dia anak kota

Ah persetan kata mereka, Aku dekati dan bicara
Sama saja
Bahkan tak lebih sekedar badan tanpa ada kata terselip mutiara
Kukira dia bisa apa yang melebihi aku sang orang desa
Tapi apa kata orang ternyata
Kota , desa sama saja
Bahkan lebih gila yang kota tapi lebih dewasa yang desa

Kotaku di penghujung millennium
Berisi orang-orang berlabel
Tapi hanya label belaka
Tanpa nada, tanpa apa, hanya adanya
Kata orang, modern itu anak kota
Kata orang terpelajar, mereka lebih maju
Maju apanya? Aku teriakkan ke daun telinga mereka biar
Mereka tahu dan sadar
Kota itu apa?
Kota sampah? Kota gila? Kota atau tako
Kalau kota dan desa tiada beda hanya
Orang dengan bangga menyebut kota
Tapi bernyali saja tak punya
Nyali untuk diri
Berkata pada negeri
Ini aku
Yang akan membangun mu negeriku

Bukan hanya melihat tanpa sedikitpun iba
Kalu kota dan desa sama
Bukannya seharusnya kota lebih beradap dari desa
Bukannya desa lebih tertinggal
Nyatanya tidak
Desaku lebih jaya dengan pemuda yang punya nyali membangun negeri

Modern tradisional tak ada beda
Yang ada hanya sekumpulan manusia
Manusia yang bisa
Atau yang bias








Senja senyap
Kupandangi saja gambar pahlawanku
Terbingkai dalam pigura bertatah kayu berlian
Senyum mengembang, mata yang indah menatapku

Teringat akan wejangan yang tiap malam kudengar saat berada di bale-bale
Aku begitu terlena dengannya sampai
Tak kudengar lagi
Untaian untaian emas yang mengalir
Memenuhi pikiran dan tetap terpatri

Wajah yang begitu sayu
Diam tapi mampu menyihirku

Kuletakkan pigura yang membingkai di meja dekat perapian
Aku takut engkau kedinginan
Di musim hujan yang kian tak bisa menjadi teman

Kau tetap memandangiku seolah
Ada ikatan yang tak akan pernah lepas

Aku tak bias berkata
Hanya diam
Mengingat,

Karya tak teringat

Buah karyaku tak bias kugenggam
Buah pikiranku tak bias kumakan
Buah tangan, hanya sebatas buah tangan

Aku berjalan mengitari etalase disepanjang kota
Melihat manusia-manusia yang begitu sibuk
Tak tahu aku apa tujuan mereka

Tertumpuk di etalase
Dengan debu yang begitu tebal
Setebal jari-jari tangan yang berhimpitan

Satu terambil oleh tangan seorang kulit putih
Mungkinkah dia orang belanda?

Aku bilang mau yang lebih bagus?
Dia minta dikirim besok lima kotak container
Aku jadi bingung
Tuhan, kenapa hanya mereka yang begitu bijak
Kenapa tidak manusia-manusia yang berjalan yang tadi kupandangi

Ah daripada hanya tertumpuk tak ada guna
Biarlah ia pergi dengan container
Ke negeri impian
Yang membuat impianku jadi nyata

Elegi senja

Tak kutahu setua ini sudah
Duduk menanti sang waktu
Mencari-cari
Kupandangi usia yang begitu tua

Ikan pun Cuma berlari kesana kemari dalam akuarium
Menemaniku di senja senyap

Imagi suara
Samar-samar hanya suaramu terdengar
Lewat aliran udara bebas
Aku bisa melihat hadirmu yang maya
Terekam nyata dalam imaginasi
Indah
Sempurna
Nyata
Keindahanmu yang terkadang kalah
Oleh gelombang alam
Gemerisik sesaat
Aku tetap kagum
Sempurnamu dalam imagiku
Sebagai sahabat
Sang penghibur
Setiap duka

Realita penjiplak
Bukankah engkau bilang aku ini penjiplak
Dalam realita dunia
Sebutlah terjebak dalam realita dunia penjiplak
Ah siapa peduli ini hal
Hanya mereka yang tak berumah

selalu mencari jati diri

Rumahku tak bertepi
Dibawa angin
Dalam air
Aku memang tak berumah
Bersama mereka yang peduli

Kalau aku penjiplak
Lalu siapa kamu sendiri?



Legowo
Awan-awan mendung bergelantung di atas atap-atap rumbia
Keruh, hitam pekat, kelabu
Keruhan-keruhannya memenuhi fikiran yang menantang alam
Menghardik nasib
Tak kusangka pengaruhnya yang menghujam begitu dalam
Nuraninya tak bekerja lagi seperti malam yang
Menyelimuti mengantar di singgasana damai
Di malam malam damai itu yang ia
Bisa leluasa dengan Gustinya
Menerima
Bahkan menggembira
Dengan hati legowo
Lalu mengapa hitamnya malam dan hitamnya mendung bisa mengontraskan hatinya
Fikirannya, nuraninya, dan alam sadarnya
Hitam mendung mematri kesedihannya
Hitam malam mematri kelegowoannya

Gusti ku
Bukannya aku tidak mau bertemu kepadaMu,
Jangankan bertemu, mengucapkan AsmaMU lidah ini terasa kotor
Tak kuasa,
Tak bisa mengucapkan Asma yang suci Gusti

Tidak ada komentar: