Selasa, 19 April 2011

CERPEN PERTAMAKU

Dunia Ketidakpastian Kau dan Aku
Aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan di malam yang terlanjur hujan sudah mereda
ini. Kukirimkan sebait kalimat untukmu. Kaupun membalasnya dengan segera dan kau bilang
sedang mendengarkan lagu-lagu yang kau sukai, yang sebenarmya adalah lagu yang kusuka juga.
Kau bilang kau sedang menulis sesuatu, sedangkan aku tak tahu apa yang sedang kau tulis
karena saat aku sudah membalas sms yang ketiga dan sudah kukirim kepadamu, justru kau tak
membalasnya lagi. Kau raib. Menghilang di saat sebenarnya aku ingin kau hadir malam ini untuk
menemani kesendirianku. Sedang apakah dirimu? Aku yakin kamu belum terlelap oleh dewa
mimpi yang membawamu kedalam mimpi di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga bewarna
warni serta dihinggapi berbagai macam kupu-kupu yang setiap orang ingin menangkapnya.
Kau sedang duduk sendirian di taman itu sedang menunggu seseorang tanpa kepastian
namun hanya keyakinan akan ada yang datang. Dan saat kau berbalik dari arahmu yang semula,
tiba-tiba datang seorang pangeran yang menaiki seekor kuda putih dengan segenggam mawar
merah muda dalam balutan plastik kertas bewarna biru, warna yang paling kau suka. Pangeran
tadi datang kepadamu dan mengajakmu naik di atas pelana kudanya yang bewarna putih bersih
nan suci. Dan saat pangeran tadi membawamu menyusuri sungai yang alirannya tak begitu deras
karena musim hujan sudah tak lagi hadir menemani, tiba-tiba kau terbangun dan kau temukan
dirimu sedang duduk termenung dalam lamunan dengan perhatianmu kembali kepada HP yang
sedari tadi masih kau genggam dalam tangan kirimu, bukan mawar merah pemberian kekasih
yang kau tunggu tak kunjung tanpa kepastian.
Aku tulis beberapa bait lagi dalam layar ini, tapi kuurungkan untuk mengirimkannya
kepadamu karena aku tahu kau sedang tak ingin membacanya, sekalipun sebenarnya kamu ingin
dan sedang menantikannya. Barangkali moment yang belum pas. Karena kau sedang menunggu
dan orang yang sedang kau tunggu ternyata juga sedang menunggumu dalam kepastiaannya.
Namun kepastiaannya tak sama dengan kepastian yang kau harapkan sehingga kau
menginginkan sebuah kejelasan darinya. Namun dia tak kunjung menerima sinyal-sinyal yang
telah kau sampaikan lewat aliran udara bebas, lewat air embun di pagi buta serta lewat tanah
yang selalu kau injak saat kau masih kecil. Tapi memang begitulah aku adanya. Aku tetap akan menunggumu sekalipun aku tak bisa
memberi sebuah kepastian karena di dunia ini tak ada yang pasti sebelum benar-benar terjadi.
Semuanya tampak abstrak dan hanya hidup dalam kira-kira. Hidup dalam ketidakmenentuan.
Hanya kemungkinan yang masih bisa dipegang dan dipertahankan. Dan aku lebih memilih
kemungkinan yang bagimu seperti air yang digodog dalam periuk tanpa api yang menyala.
Hanya tungku yang diam saja. Seperti itulah aku percaya bahwa air yang digodog tadi pasti akan
masak tapi masih menunggu lama karena api belum juga menyala disana. Barangkali api itu
adalah kamu sementara tungku itulah aku yang sedang menunggumu, sementara air yang akan
dimasak itulah cinta yang sedang aku dan kau akan semai bersama suatu saat. Tinggal menunggu
waktu kapan Tuhan akan menjawab doaku serta doamu.
Pagi ini langit tak secerah biasanya. Padahal ini sudah terhitung bulan menginjak musim
dimana mentari akan bersinar terik membakar apa yang ada di bumi. Tapi tampaknya mentari
begitu hafal kapan dia harus muncul dan kapan dia harus bersembunyi dibalik tirai hitam, bukan
tirai kuning yang selalu kau gunakan untuk bersembunyi dalam penantian di malam-malam sepi
menunggu seseorang untuk membukanya. Salah satunya adalah aku yang kau harapkan untuk
membukanya lalu membawamu ke alam ketidaksadaran, membuatmu linglung dan lupa akan
segalanya.
Pagi ini, karena langit sedang bersedih maka mentari lebih pragmatig dan tahu diri
membiarkan langit untuk menikmati kesedihannya dan tak mau mengganggunya. Sesekali angin
lumayan kencang bertiup membantu sesenggukan langit biar ia benar-benar tampak sedang
bersedih. Lalu rintik air matanya turun dengan perlahan tapi penuh kepastian. Ya, penuh
kepastian karena ketika ia sedih maka ia akan mengeluarkan air matanya lewat mega-mega hitam
yang menggelantung di mukanya. Ini beda dengan dirimu di pagi ini. Kau tetap seperti biasa.
Sudah tak serapuh dulu kala. Kau sudah menemukan resep untuk mengarungi perjalanan
kehidupan yang tak menentu dengan penuh keyakinan. Padahal dulu kau sangat rapuh dan selalu
jatuh.
Ya, benar! kekuatan itu pastilah akan datang serta membuatmu lebih bisa tegar dalam
dunia ini. Namun sepertinya resep itu tak mau bekerja di pagi ini. Kau coba untuk menenangkan
diri dengan lamunan sambil mendengarkan lagu-lagu yang aku dan kau suka. Lagu-lagu yang
menjadi kenangan bagi kita dan seakan de javu akan berulang untuk kesekian kalinya walaupun hanya dalam lamunan. Kau tetap terdiam, katamu sambil mengirim lagi pesan yang segera
membangunkanku dari lamunanku tentang kenangan itu.
“Pak Zu….”
Sebuah pesan singkat yang menunjukkan kegalauanmu.
“Iya Yut, ……”
Dan segera pesan-pesan lain berulang-ulang aku kirim dan kau terima. Kau juga
membalas berbait-bait pesan itu hingga di pesan terakir kau kirim pesan yang tak bisa aku
menjawabnya. Aku jawab tapi tak seperti yang kau harapkan karena aku lebih memilih
melakukan ketidakpastian dalam suatu kemungkinan dengan keyakinanku. Sementara kamu
lebih memilih dalam keyakinanmu sebuah kepastian yang benar-benar jelas dan nyata. Mengapa
di dalam hal yang paling penting ini kau dan aku justru mengalami perbedaan?
*****************************************************************************
Hari kelima setelah perpisahan kita, terasa begitu membuatku terpuruk. Tak ada satupun
karya yang selesai kukerjakan. Aku tak tahu kabar tentangmu lagi. Kau kembali raib. Maka pagi
itu juga aku pacu jantungku untuk menyusulmu ke rumahmu. Barangkali kau sudah berada di
rumah. Karena yang bisa kembali mengobati kegalauamu hanyalah ibu. Seorang ibu lebih
memahami seorang anaknya ketimbang seorang kekasih sekalipun. Karena ikatan batin ibu dan
anak lebih kuat, lebih pasti
Kucari seharian penuh dimana rumahmu dan hingga jam 21.00 aku tak juga
menemukannya. Aku tersesat di kota ini. Kota yang begitu asing bagiku karena ini kali
pertamanya aku berada di sini. Putus asa sudah diriku yang begitu tak dapat menguasai fikirku
dan perasaanku. Aku lebih dikendalikan oleh luapan emosi yang terus menyala dikipasi oleh
syetan-syetan yang beberapa hari ini dengan rela dan senang hati menemaniku. Di alun-alun ini
aku menemukan tempat kembali. Masjid! Ya, masjid yang berdiri dengan kokohnya dengan
kubah besar bulat. Di sanalah tempat untuk kembali dalam kepastian.
Di dalamnya sepi, tak satupun kulihat manusia yang mau menyinggahi tempat yang suci
ini di malam ini. Tempat ini justru sepi melenggang. Namun di sisi kiri sebelah pojok depan tampak olehku sesosok dalam balutan mukena biru. Kembali membuatku terbawa dalam de javu
dua bulan lalu saat kau dan aku masih bersama. Kau kenakan mukena biru saat kau dan aku
kembali kepadanya. Menghadap Sang Khalik dan menjadikan hatiku serta hatimu tak pernah
gundah lagi. Barang kali kegundahanku selama ini karena aku terasa sepeti menjauhiNya.
Padahal dulu kau dan aku selalu meyakini kalau Dia selalu dekat dengan diri kita.
Malam ini, di kota yang asing bagiku aku menemukan tempat yang begitu sangat aku
kenali. Tempat untuk menghilangkan kegundahan dan kembali dalam keyakinan menapaki
samudera kehidupan. Dalam sujudku menetes berpuluh butiran bening, tak dapat kutahan.
Barangkali hanya kau, dan beberapa sahabat saja yang hafal kapan butiran bening pasti menetes
dari kedua bola mataku. Tapi kau tak pernah bilang itu cengeng. Ya, aku cengeng ketika
dihadapan Tuhanku. Dalam sujud terakirku kudengarkan de javu lantunan suaramu yang begitu
merdu melantunkan ayat-ayatNya.
“Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
“Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan.”
Ayat yang mengembalikanku kepada kenyataan dan keyakinan bahwa semua pasti akan
kembali kepadaNya. Namun sebelum tiba waktu itu, setiap manusia memiliki sebuah tugas di
dunia ini yang harus diselesaikan. Tugas akan adanya dia. Dan tugas itu akan terejawantah dan
terintegralkan dalam turunan-turunan yang semakin banyak. Lantas salah satu tugas itu adalah
mensyukuri nikmat Tuhan. Kenapa bersyukur? Karena dengan bersyukur seseorang akan
terbawa dalam kesadaran dimana dia sedang berada dan apa yang mesti dilakukannya.
Malam yang sunyi ini mengantarkanku kepada jawaban-jawaban yang selama ini kucari.
Kembali, ya! kembali adalah yang selama ini kurisaukan dan kucari-cari. Kembali kepada diriku
sendiri dan memahami siapa sebenarnya aku. Kembali lagi kudengar lantunan ayat itu.
Kali ini semakin dekat dan semakin keras dengan beberapa orang yang mengucapkannya.
“Fa bi Aiyi ala’i Rabbikuma tukazziban…”
“Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan..” Tuhan aku merasa tak pernah untuk mendustakan nikmat yang telah Kau beri. Aku selalu
mencoba untuk bisa bersyukur kepadaMu. Namun malam ini, hari ini tepatnya aku linglung,
bimbang dengan yang kurasa.
*****************************************************************************
Di balik tirai kuning itu kau masih menunggu dengan penuh harapan. Kini tirai kuning itu
telah tersibak olehku. Tangan kananku menyentuhnya, tapi……, disana tak kutemukan jua
dirimu yang menanti karena kau telah memilih untuk yang pasti. Kau lebih memilih untuk pergi.
Karena aku terlambat barangkali. Kau telah memilih untuk menjauh dariku. Tapi aku yakin di
fikirmu akan tetap terpatri dengan kokoh diriku di sana. Sebuah kemunginan dan kepastian.
Lantas kau sekarang sedang dimana? Di tirai yang mana? Dapatkah aku menemukanmu?
Bahkan aku baru sadar kalau tirai yang kau maksud itu bukanlah sebenarnya tirai. Itu adalah
fatamorgana seperti yang ada di gurun pasir. Saat itu istri Baginda Nabi Ibrahim ingin mencari
air untuk minum anaknya, Ismail. Ia berlari kesana kemari seakan air itu begitu dekat dengannya.
Dia melihat genangan demi genangan yang dapat menghapus rasa dahaganya dan dahaga
bayinya. Namun sepanjang ia berlari yang diketemukannya hanyalah pasir-pasir gurun yang
terbaur dengan angin saat angin bertiup dengan begitu angkuhnya.
Tapi tiba-tiba air dalam fatamorgana itu sangat dekat. Dibawah kaki sang bayi. Mengucur
begitu derasnya hingga mampu untuk menghapus dahaga sebanyak manusia yang
menginginkannya. Dan saat itu aku tersadar kalau tirai itu memang dekat denganku. Tak hanya
denganku tapi dengan semua makluk. Tirai itu adalah sang surya yang tiap hari memanggang
para kuli-kuli yang bekerja. Aku baru menangkap sasmitha darimu kalau yang kamu maksud
adalah sinar surya yang membakar. Kau butuh seseorang yang akan melindungimu dari
sengatannya. Maka aku kan datang untuk menyibaknya. Menyibak tirai itu dan menjadikanmu
merasa nyaman terlindungi darinya.
Aku akan terus mencari sampai tirai yang sedang menyembunyikanmu kutemukan. Aku
yakin sekarang kalau kamu masih tetap menungguku entah dimana. Karena sang mentari terus
bersinar melingkupi seluruh daratan serta lautan di bumi ini. Selama bumi ini masih merasakan
sinar kasihnya berarti kau masih tetap ada untukku. Ya, sekarang aku begitu yakin serta merasa
dekat denganmu. Tak hanya denganmu tapi juga dengan Tuhanku. Kembali lagi ayat itu yang kudengar dan kini aku tersadar aku sedang berada di dalam
masjid. Tapi bukan masjid yang tadi. Kini aku berada di sebuah rumah tepatnya. Sayup-sayup
kubuka kedua mataku yang kelelahan dan kupandangi wajahmu hadir di depanku. Aku kembali
bermimpi lagi.
“Pak zu…. Sudah bangun…?”
Tapi ini benar-benar suaramu. Aku tidak bermimpi. Ya aku sedang bersamamu. Aku baru
tersadar kalau sedari tadi aku sedang tidur di kamar yang biasa kau tidur di sana. Siang ini aku
mengigau lagi untuk yang entah ke berapa. Kau tetap setia untuk menungguiku dan merawatku.
Aku mengigau seakan takut karena aku tak kan menemukanmu lagi. Takut akan ada tirai-tirai
penghalang lagi yang akan menghalangi keyakinanku dan keyakinanmu. Mengembalikan ke
dalam ruang ketidak pastian.
Aku sadar sekarang aku masih nyata di sini dalam dekapan perawatanmu. Aku sakit. Aku
demam. Tapi rasa sakit ini hanya seperti saat kau merasakan minum obat saja. Tak begitu terasa.
Justru aku sedang sakit fikir. Sedang kelelahan.
“Iyut…., jam berapa?”
“Jam 2 pak…., kamu belum sholat dhuhur…, ayo bangun kita jamaah.”
Dan inilah sasmitha itu. Kembali menghadapMu Tuhan. Disaat aku sedang tak punya
pegangan Engkau menghadirkan kekuatan lewat dia yang selalu ada untukku. Disaat aku dalam
kebimbangan Engkau dekatkan dia padaku untuk mencapai ridhaMu. Aku kembali dalam
ketidakpastian ini menghadapMu bersama dengannya. Kita berdua akan kembali kepadaMu.
“Allahu akbar.”

Semarang, 22 maret 2011. 10.23 A.M
(dalam sebuah ketidakpastian di bawah atap yang sedang terombang-ambing)
untuk yang sedang ditunggu tanpa sebuah kejelasan.

Tidak ada komentar: